Senin 20 Nov 2017 14:27 WIB

Aceh Sosialisasikan Qanun Produk Halal

 Pengunjung melihat produk halal yang dipamerkan dalam seminar Meraup Peluang Emas Bisnis Halal Global di Jakarta (Ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pengunjung melihat produk halal yang dipamerkan dalam seminar Meraup Peluang Emas Bisnis Halal Global di Jakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MEULABOH -- Lembaga legislatif Provinsi Aceh mengadakan sosialisasi Qanun atau peraturan daerah tentang Sistem Jaminan Produk Halal untuk memastikan semua produk masuk ke kabupaten/ kota di Aceh teruji halalnya. Qanun tersebut sebenarnya sudah efektif diberlakukan secara menyeluruh sejak 2016, namun masih terbatas diketahui pelaku usaha maupun masyarakat sebagai konsumen.

"Kita maklum saat ini masih banyak beredar berbagai jenis makanan produk luar maupun lokal yang belum terstempel, belum penelitian dan terjamin halalnya. Itu yang perlu dipastikan melalui Qanun ini, bahwa produk masuk ke Aceh, halal semua," kata Sekretaris DPR Aceh, Hamid Zein, Senin (20/11).

Hal itu disampaikan pada acara Sosialisasi Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, serta sosialisasi Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, di Hotel Meuligo Meulaboh. Acara tersebut diikuti satuan kerja perangkat kabupaten (SKPK), Camat, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Kementrian Agama, pelaku usaha dari Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya, acara dibuka oleh Ketua Komisi A-DPRA Abdullah Saleh.

Hamid Zein, menegaskan, Qanun Aceh tentang jaminan produk halal tersebut, juga mengatur tentang larangan serta sanksi bagi yang mengedarkan atau penjual produk lokal maupun produk luar untuk konsumen di provinsi paling ujung barat Indonesia itu.

"Qanun ini juga mengatur sanksi, kalau satu pruduk tidak diberikan lebel halal, bisa dikenakan sanksi, bisa dikenakan hukuman 6 bulan dan denda Rp 50 juta, apabila ditemukan makanan tidak berlabel halal ketika beredar di Aceh," tegasnya.

Dikatakan Zein, ada bermacam kriteria penilaian produk halal yang boleh beredar di Aceh, terutama sekali menyangkut tiga hal yakni, halal zatnya, halal sifatnya, dan halal semua bahan yang digunakan dalam satu produk yang dipasarkan di Aceh itu.

Hamid Zein, mencontohkan, seperti bakso yang beredar di Aceh saat ini tidak ada yang berstempel halal, kalaupun ada akan tetapi belum teruji secara pasti jenis bahan yang digunakan oleh produsennya merupakan bahan-bahan yang halal secara Islam.

Hal itu sangat perlu, terutama masyarakat di Provinsi Aceh sebagai konsumen adalah umat Muslim. Karena itu, pemerintah harus bisa melindungi konsumen dalam mendapatkan jenis makanan yang sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.

"Seperti bakso di Aceh, dari apa terbuat, kalau dari ikan okelah karena ikan bisa semua dimakan, kalau daging, bisa tidak kita pastikan itu daging yang boleh dimakan. Disinilah peran pemerintah lewat adanya qanun ini melindungi konsumennya," tuturnya.

Dalam kegiatannya nanti, kata Hamid Zein, semua pihak terkait seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bersama unsur muspida plus MPU serta pemda, akan bersama-sama meneliti semua produk sebelum diedarkan di pasar.

Kemudian barulah diberikan label khusus halal secara kearifan lokal, bahwa produk tersebut sudah teruji penelitiannya dan halal dikonsumsi. Sementara produk yang sudah berstandar SNI maupun telah memiliki label halal dari MUI pusat, tidak lagi di labelkan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement