Senin 20 Nov 2017 13:45 WIB

Syed Farid Alatas, Pemikir Keislaman Malaysia

Direktur Centre for Arab and Islamic Studies, The Australian National University (ANU), Amin Saikal, saat menjadi keynote speaker dalam Annual International Conference on Islam Civilization (Ilustrasi)
Foto: dokpri
Direktur Centre for Arab and Islamic Studies, The Australian National University (ANU), Amin Saikal, saat menjadi keynote speaker dalam Annual International Conference on Islam Civilization (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu pembicara kunci Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS)  tahun 2017 adalah Profesor Syed Farid Alatas. Mewakili sarjana studi Islam, Syed Farid saat ini menjadi salah satu tokoh kunci dalam bidang Kajian Islam dunia.

Profesor asal Malaysia ini tengah populer di dunia kajian Islam dan sekarang boleh dikatakan sebagai tokoh kunci yang mewakili dunia Melayu di tengah maraknya diskursus Islam Nusantara. Mafhum, Islam Nusantara dikenal sebagai Islam toleran dan terbuka. Diskursus Islam Nusantara menguat seiring terus terjadinya konflik di negara-negara Islam di Timur Tengah.

Kehadiran Negara Islam Syuriah atau yang sering dikenal dengan ISIS menambah “kegalauan” dunia Islam saat ini. Saat itu,  Islam Nusantara di Asia Tenggara hadir memberi inspirasi bagi praktik kehidupan umat Islam dunia yang khas ala Islam Nusantara.

Profesor Syed Farid Alatas selama ini dikenal pemikirannya melalui banyak karyanya. Profesor Syed Farid Alatas mengingatkan umat Islam untuk selalu berhati-hati dan menentukan masa depan masyarakat Islam sendiri dalam konteks bermasyarakat dalam dunia modern dan global. Islam yang toleran dan cerdas menjadi bagian penting dari gagasan-gagasan sang profesor.

Salah satu pemikiran Syed Farid adalah kritiknya terhadap pemisahan Islam dan non-Muslim dalam beberapa aspek kemasyarakatan. Misalnya, ada pemisahan antara toko halal dan non-halal yang menuju kepada supermarket Muslim di Malaysia. Menurutnya, hal itu mengarah kepada “apartheid like-situation” atau situasi seperti politik warna kulit yang pernah terjadi di Afrika.

Bedanya, di Malaysia ini cenderung mengarah kepada politik agama dan ras. Dan ini sangat berbahaya, sehingga para sarjana dan pemegang kebijakan perlu memberikan perhatian kepada arah dan masa depan peradaban Islam.

Syed Farid menilai, persoalan agama, identitas, dan kewargaan itu mesti mendapat prioritas untuk mengembangkan apa yang telah diarahkan oleh Islam sebagai agama yang memberi berkah dan keselamatan, bukan agama yang menjadi sumber malapetaka.

sumber : kemenag.go.id
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement