Ahad 19 Nov 2017 19:26 WIB

Maarif Institut Prihatin Jakarta Sebagai Kota Intoleran

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz bersama Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Amin Abdullah dalam penutupan Halaqah Nasional Ulama dan Cendikiawan di Jakarta, Ahad (19/11).
Foto: Republika/Muhyiddin
Direktur Eksekutif Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz bersama Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Amin Abdullah dalam penutupan Halaqah Nasional Ulama dan Cendikiawan di Jakarta, Ahad (19/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Maarif Institut Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, bahwa semua pihak harus prihatin terhadap hasil survei Setara Institut yang menyebutkan DKI Jakarta sebagai kota dengan skor toleransi terendah, yakni 2,30. Karena, menurut dia, meningkatnya intoleransi di Ibu Kota dikarenakan adanya Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

"Kalau misalnya melihat fakta terakhir yang Pilkada, ya kita harus prihatin karena di situ intoleransi menguat karena dasar politik dan agama yang dipolitisir," ujarnya saat ditemui Republika.co.id dalam penutupan Halaqah Ulama dan Cendikiawan di Jakarta Pusat, Ahad (19/11).

Dia mengatakan, fenomena Pilkada ke depannya memang harus diwaspadai karena sarat dengan adanya politisasi agama, di mana agama digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan politik tertentu. "Itu menurut saya sudah di luar etika. Bahkan, itu sudah menciderai dan mengotori agama itu sendiri. Dan itu dipakai untuk memcah belah anak bangsa. Karena jika pola-pola seperti itu dilakukan untuk misalnya proses Pilkada yang akan datang kita tidak akan selesai," ucapnya.

Dikatakan Darraz, jika agama dijadikan sebagai alat politik akan banyak sekali ketidaknyamanan dan keretakan sosial yang ada pada bangsa ini akan semakin menganga. Karena itu, hal itu harus diwaspadai pada pelaksanaan proses Pilkada serentak pada 2018 dan Pilpres pada 2019.

Dalam proses Pilkada, tambah dia, masyarakat selama ini masih melihat bahwa untuk memilih pemimpin itu berdasarkan agama. Padahal, menurut dia, konstitusi tidak mengatur bahwa agama harus dijadikan pedoman untuk memilih seorang pemimpin.

"Saya kira itu kekeliruan karena kalau mislanya itu sudah menjadi landasan masyarakat untuk memilih, ikatan kebangsaan yang didasarkan pada kebhinekaan dan keberagaman ini akan runtuh. Nah ini harus kita cegah. Untuk hal itu kami sangat prihatin kalau misalnya hal itu diulang di tahun 2018 dan 2019," kata Darraz.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement