Ahad 19 Nov 2017 19:01 WIB
Lebih Religius dan Konservatif

Muslim Johor Dukung Hukum Pidana Islam

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Petugas Wilayatul Hisbah (polisi syariat islam) membawa terpidana pelanggar peraturan daerah (qanun) Syariat Islam menuju panggung eksekusi untuk menjalani hukuman cambuk di halaman Masjid Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh (Ilustrasi)
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Petugas Wilayatul Hisbah (polisi syariat islam) membawa terpidana pelanggar peraturan daerah (qanun) Syariat Islam menuju panggung eksekusi untuk menjalani hukuman cambuk di halaman Masjid Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Hasil survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga penelitian di Singapura, ISEAS-Yusof Ishak Institute, mengungkapkan, bahwa warga Johor, khususnya orang Melayu, lebih religius jika tidak lebih konservatif. Dari hasil survey itu disebutkan, bahwa sebagian besar atau sekitar 84 persen orang Melayu Johor memilih Muslim dalam posisi kepemimpinan penting. Mereka berpandangan bahwa umat Islam harus menempati mayoritas kursi pemerintahan di negara bagian Johor.

Survei mengenai peran Islam dan pemerintahannya yang dilakukan di Johor, negara bagian paling selatan di Malaysia, itu dirilis pada 10 November lalu. Survey dilakukan antara Mei dan Juni 2017 dengan menggunakan sampel pada 2011 responden di Johor, yang terdiri dari 1.104 orang Melayu, 758 orang Cina, dan 149 orang India.

Dari hasil survey itu juga disebutkan, sekitar 75 persen orang Melayu mendukung dilaksanakannya hukum pidana Islam yang ketat atau disebut 'hudud'. Seperti halnya hukum rajam untuk perzinahan dan pemotongan tangan untuk pencuri.

Sementara sekitar 57 persen warga menginginkan undang-undang tersebut diterapkan pada semua warga Malaysia tanpa mempedulikan agama mereka. Sedangkan hanya dua persen orang Cina dan 10 persen orang India yang setuju akan itu.

Selanjutnya, 90 persen orang Melayu setuju bahwa meningkatnya religiusitas Islam adalah perkembangan positif di Malaysia. Sebalinya, 79 persen dan 68 persen responden Cina dan India, tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

Sebelumnya, muncul kontroversi di Johor terkait jasa cuci pakaian atau laundry yang dibuka khusus Muslim. Hal itu dinilai memperlihatkan Muslim Johor yang lebih konservatif.

Dalam sebuah wawancara dengan the Sunday Times di Mersing, sebuah pantai kota di timur Johor, penjual kopi berusia 50 tahun, Zakiah Mat Lila, mengatakan, bahwa ia memilih Muslim di posisi pemerintahan dan mendukung diterapkannya 'hudud'.

"Saya mengatakan ya kepada hukum hudud untuk Muslim. Lakukan seperti di Arab Saudi, tidak ada yang berani mencuri jika mereka tahu tangan mereka mungkin akan dipotong," kata Zakiah, seperti dilansir dari the Straits Times, Ahad (19/11).

Adapula warga Johor Muslim lainnya yang justru sepakat dengan 'laundry' khusus Muslim. Seorang ibu rumah tangga bernama Muar Sharina Abdullah mengatakan, bahwa operator bernama Elit Laundry hanya memberikan pilihan kepada umat Islam dan tidak bersikap rasis atau diskriminatif terhadap non-Muslim.

Sebelumnya, laundry tersebut diminta oleh Sultan Johor Ibrahim Sultan Iskandar pada September lalu untuk membuat permintaan maaf kepada publik dan menghapus papan namanya yang menyebutkan bisnisnya hanya terbuka untuk Muslim.

"Sebagai Muslim, kita semua menginginkan cara hidup yang halal. Saya merasa tenang karena mengetahui pakaian saya tidak dicuci dengan mesin yang sama seperti yang dikenakan oleh non-Muslim, yang bisa terkontaminasi dengan alkohol, daging babi dan rambut anjing," kata Madam Sharina.

Anggota ISEAS, Norshahril Saat, mengatakan, bahwa konservatisme semacam itu sebelumnya hanya terkait dengan orang-orang Melayu yang tinggal di negara bagian Melayu pedesaan seperti di Kelantan, Terengganu, dan Kedah. Sedangkan Johor, menurutnya, lebih berkembang secara ekonomi dan lebih urban daripada negara bagian lainnya.

"Jadi kita akan memperkirakan penduduk Johor menjadi lebih modern dan menganggap Islam sebagai agama yang lebih progresif. Kasus Johor mengonfirmasikan temuan bahwa ada kebangkitan pemikiran revivalis Islam di Malaysia kontemporer saat ini," kata Norshahril.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement