Jumat 10 Nov 2017 20:49 WIB

Dalam Harta itu Ada Tiga Pemilik, Siapa Mereka?

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Harta warisan (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Harta warisan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Abu Dzar Al-Ghifari ra adalah seorang sahabat yang masyhur dan seorang ahli zuhud. Menurutnya dalam harta itu ada tiga pemilik yakni takdir, ahli waris, dan diri sendiri.

Dikutip dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a bahwa yang pertama adalah takdir. Ia begitu saja mengambil harta yang baik maupun yang buruk tanpa menunggu apa pun. Maka jangan sampai takdir datang mengalahkan, sehingga harta yang kita miliki akan sia-sia.

Kedua, pewaris yang menanti harta. Jika seseorang mati, ahli waris akan mengambilnya. Kemudian tak seorang pun mempertanyakannya. Dalam beberapa hari; anak, keluarga, dan istri akan menangis lalu diam. Sangat sedikit di antara ahli waris yang menyedekahkan hartanya lalu menghadiahkan pahalanya untuk mayit dan mengingatnya.

Ketiga adalah dirimu sendiri. Jika dapat, jangan menjadi yang paling lemah di antara ketiganya yakni usahakan semampu diri kita untuk menyimpan harta kita di akhirat.

Nabi SAW bersabda, “Orang selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku.’ Padahal, hartanya hanyalah yang telah ia makan dan ia habiskan, yang telah ia pakai dan ia usangkan, atau yang telah ia gunakan di jalan Allah dan ia kumpulkan di tabungan untuk dirinya sendiri. Dan penggunaan untuk selain itu sebenarnya ia kumpulkan untuk orang lain.”

Nabi SAW, bersabda, “Siapakah di antara kalian yang lebih menyukai harta waris daripada hartanya sendiri? Sahut para sahabat ra, “Ya Rasulullah, siapakah yang lebih menyukai harta orang lain daripada hartanya sendiri?” Jawab Beliau, “Harta miliknya ialah harta yang telah ia infakkan dan yang kamu tinggalkan adalah milih ahli warismu.”

Abu Dzar tidak pernah mengumpulkan harta, juga tidak menyukai orang yang menumpuk harta. Ia sering mengecam para hartawan, sehingga khalifah Utsman ra menyuruhnya agar menyendiri di Rabzah, yaitu suatu pemukiman di hutan yang sangat sedikit penduduknya. Abu Dzar ra memiliki beberapa ekor unta yang digembalakan oleh seorang lelaki tua dan lemah.

Suatu ketika, seorang lelaki Banu Sulaim datang kepadanya dan menyampaikan keinginannya, “Aku ingin berkhidmat kepadamu agar dapat mengambil manfaat dan pelajaran darimu. Aku siap menggembalakan unta-untamu agar akau dapat mengambil berkah darimu.”

Jawab Abu Dzar ra, “Temanku adalah yang siap mentaatiku. Jika engkau bersedia mentaatiku, tinggallah bersamaku. Jika engkau tidak mendengar ucapanku, aku tidak memerlukanmu.”

Lelaki dari Banu Sulaim itu tidak mengerti maksud perkataan Abu Dzar. Ia bertanya, “Ketaatan manakah yang engkau maksudkan?” Maka Abu Dzar menjelaskannya, “Jika aku menyuruhmu menyedekahkan hartaku, hendaknya engkau langsung memilih hartaku yang terbaik.”

Laki-laki itu siap melakukan apa yang dikatakan tuannya dan tinggal bersamanya. Pada suatu hari pemuda itu bercerita bahwa ada beberapa orang yang tinggal di dekat mata air dalam keadaan darurat dan sangat membutuhkan makanan. Maka Abu Dzar  menyuruhnya untuk mengambilkan seekor unta.

Ia pergi melihat unta yang terbaik. Ternyata ada seekor unta yang sangat bagus, harganya mahal, dan sangat penurut jika ditunggangi. Sesuai dengan janjinya pada tuannya, ia akan memilihkan pemberian yang terbaik. Maka ia bawakan unta terbai itu pada Abu Dzar. Namun kemudian hatinya mengatakan bahwa unta ini terlau bagus untuk diberikan kepada orang-orang miskin itu sebagai makanan.

Tuannya dan orang-orang yang berhubungan dengannya sangat membutuhkan unta ini. Ia segera mengembalikan unta itu dan mengambil seekor unta betina yang derajatnya di bawah unta tadi dan merupakan unta terbaik di bawah unta pertama.

Setelah melihat unta yang ia bawa, tuannya berkata, “Engkau telah mengkhianatiku!” Dirinya memahami maksud tuanya, maka segera ia kembali mengambil unta yang terbaik tadi. Lalu, Abu Dzar bertanya kepada orang-orang di sebelahnya, “Apakah ada dua orang di antara kalian yang siap bekerja karena Allah?” Dua orang berdiri menyatakan kesediannya.

Abu Dzar ra berkata kepada mereka, “Sembelihlah unta ini dan potong-potonglah sebanyak rumah warga di sekitar mata air. Lalu bagikanlah ke setiap rumah, dan rumah Abu Dzar termasuk hitungan yang memerlukan, memperoleh bagian yang sama dengan yang lain.”

Setelah memberi petunjuk pembagian daging tersebut, sang pemuda dipanggil Abu Dzar dan berkata, “Aku telah menyuruhmu agar memilih benda yang terbaik untuk disedekahkan, tetapi engkau dengan sengaja atau tidak telah mengingkarinya. Tidak mengapa jika engkau memang lupa.”

Maka sang pemuda mengaku pada tuannya bahwa sebenarnya ia tidak lupa. “Pada mulanya aku telah memilih unta yang terbaik tadi, tetapi hatiku berkata bahwa unta itu paling baik dalam bekerja dan engkau sangat memerlukannya. Karena itulah aku tinggalkan unta itu,” jelasnya.

Abu Dzar berkata, “Benarkah engkau meninggalkannya untuk keperluanku?” Pemuda itu menjawab, “Ya, sengaja aku tinggalkan untuk keperluanmu.” Tuannya berkata, “Tidakkah engkau ingin mengetahui kapankah hari keperluanku? Hari keperluanku adalah ketika aku akan diletakkan dalam kubur seorang diri. Itulah hari keperluanku  yang sebenarnya.

Allah SWT berfirman: “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang paling kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran:92)

“Oleh sebab itu aku infakkan harta yang paling aku sukai sehingga akan menjadi tabunganku di akhirat kelak,” lanjut Abu Dzar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement