Kamis 09 Nov 2017 17:45 WIB
Belajar Kitab

Al-Muwaththa' Kodifikasi Hadis Riwayat Malik

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Hadist (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Hadist (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hadis adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat yang berasal dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadis dalam Islam adalah sebagai sumber hukum kedua yang terpenting setelah Alquran.

Keterkaitan antara keduanya sangat erat dan tak bisa dipisahkan. Hadis menjelaskan hukum dan persoalan yang belum dijabarkan dalam Alquran secara jelas.

Dalam beberapa persoalan, hadis menghadirkan hukum tersendiri yang belum disebutkan dalam Alquran. Seperti hukum mengonsumsi hewan jalalah atau binatang yang makan sehari-harinya adalah benda najis. Karena itu lah, kedudukan hadis adalah sebagai penjelas dari Alquran.

Akan tetapi, seiring dengan pergulatan pemikiran akibat dari perluasan wilayah yang berimbas pada munculnya keberagaman pendapat, perbedaan pun tak dapat dihindari.

Setiap daerah memiliki corak dan metode pengambilan hukum masing-masing. Di daerah Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah, misalnya, terkenal dengan corak periwayatan hadis yang sangat kental, sedangkan umat Islam yang berada di pusat pemerintahan, seperti Irak kala itu, lebih dekat dengan metode rasional.

Perbedaan tersebut berakibat memicu pemahaman yang beragam tentang interpretasi teks, baik Alquran maupun hadis.

Kendati demikian, riuhnya perbedaan ini tak mengurangi minat para pengkaji hadis untuk menghasilkan pemikiran brilian yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Setidaknya, upaya tersebut berhasil dibuktikan oleh Abdullah bin Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (179 H).

Kehadiran tokoh asli Madinah ini memengaruhi metode pemikiran keagamaan. Dalam fikih misalnya, corak pemikirannya senantiasa berdasarkan teks hadis yang menjadi karakternya. Setidaknya, buah pemikiran di bidang hadis-fikih tersebut tertuang secara apik dalam karya monumentalnya yang berjudul al-Muwaththa'.

Inspirasi

Adapun inspirasi yang mendasari Imam Malik menulis al-Muwaththa' adalah permintaan Khalifah Abu Ja'far al-Manshur.

Tepatnya, ketika sang khalifah bertemu dengan Imam Malik saat musim haji. Setelah mengikuti majelis ilmu yang dipimpin langsung oleh Imam Malik, Abu Ja'far merasa takjub atas penguasaan hadis dan fikih pemuka Madinah tersebut.

Lantas, terbersit di benak Khalifah agar Imam Malik berkenan membuat kumpulan hadis sahih yang membahas tentang hukum fikih dalam berbagai aspek, mulai dari ibadah, muamalah, munakahat (pernikahan), jinayat (pidana), dan lainnya.

Namun, Abu Ja'far memberikan standardisasi dan kriteria terpenting guna dijadikan acuan penulisan kitab nantinya. Standardisasi tersebut berkaitan dengan posisi perspektif fikih yang moderat.

Yakni, tidak seperti Abdullah bin Umar yang condong kaku, ataupun Abdullah bin Abbas yang terlampau menggampangkan, maupun coraknya terlalu asing ala fikih Abdullah bin Mas'ud.

Dengan standardisasi itu, kitab tersebut bisa dijadikan sebagai acuan umum bagi umat Islam. Latar belakang ini lah yang menjadi dasar penamaan kitab tersebut dengan nama al-Muwaththa', yang berarti "rujukan".

Kendati permintaan tersebut datang dari seorang Khalifah, Imam Malik tak langsung mengabulkannya. Sebab, dalam pandangan Imam Malik, masing-masing kelompok Muslim memiliki metode ijtihad dan rujukan tersendiri, sehingga tak etis jika kemudian membatasi dan menyatukan pendapat-pendapat menjadi satu.

Meski demikian, pada akhirnya Imam Malik menerima masukan sang Khalifah dan lalu mengarang kitab yang dimaksud. Imam Malik merampungkan penulisan kitab ini selama kurun waktu sekitar 40 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement