Selasa 24 Oct 2017 16:15 WIB

Ormas Islam Jabar Tolak Perppu Ormas

Rep: ArieLukihardianti/ Red: Agung Sasongko
Rapat paripurna DPR pengambilan keputusan tingkat dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (24/10).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Rapat paripurna DPR pengambilan keputusan tingkat dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (24/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Forum Kerja Sama Ormas Islam (Formasi) Jawa Barat, menolak dengan tegas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Menurut Anggota Formasi sekaligus Ketua Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Jawa Barat, Hadiyanto A Rachim, Ormas Jabar menilai Perppu tersebut akan menyebabkan pemerintah menjadi otoriter dan menjauhi azas rule of law.

"Tentu saja, Perppu Ormas ini sangat mengkhianati demokrasi, dan menginjak rasa keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Karena itu, Formasi dengan tegas menolak Perppu No.2 Tahun 2017," ujar Hadiyanto kepada wartawan, Selasa (24/10).

Karena itu, menurut Hadiyanto, Formasi Jawa Barat mendesak DPR RI untuk tidak menyetujui atau menolak Perppu No 2 Tahun 2017 ini menjadi undang-undang (UU). Karena, persetujuan DPR RI dinilai akan melukai perasaan hukum dan keadilan masyarakat.

Selain itu, kata Hadiyanto, pihaknya pun meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memproses pengujian materil terhadap Perppu ini dengan obyektif, jujur, transparan, dan bertanggung jawab serta memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi masyarakat.

"Dan kami pun, mengajak kepada masyarakat, untuk lebih meningkatkan ukhuwwah," katanya.

Hadiyanto berharap, semua umat islam bisa merapatkan barisan dalam menghadapi berbagai langkah dan kepentingan politik yang bertendensi mengecilkan atau mengabaikan aspirasi rakyat dan masyarakat, khususnya umat Islam.

Menurut Hadiyanto, Perppu yang menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat ini, merupakan wujud dari kebijakan pemerintah yang otoriter dan mengabaikan azas pemerintahan yang baik. Selain itu, membuat tekanan dan ancaman terhadap kebebasan azas berserikat dan berorganisasi.

Bahkan Formasi menilai, kata dia, Perppu ini sarat dengan kepentingan dan pemihakkan pemerintah terhadap suatu kepentingan politik tertentu. "Ini juga memojokkan aspirasi politik khususnya umat Islam," katanya.

Padahal, syarat adanya Perppu yakni kegentingan yang memaksa. Jadi, tidak terpenuhi dan tidak bisa ditentukan secara sepihak berdasarkan asumsi pemerintah. Perppu didasarkan hasil kajian, pertimbangan rasional, dan ada kondisi obyektif yang benar dirasakan sebagai keadaan yang genting dan memaksa.

"Harus benar-benar terukur dan terstruktur bahwa hal itu mengancam keselamatan masyarakat, bangsa, dan negara," katanya.

Namun, kata dia, hal tersebut tidaklah terpenuhi. Perppu itu, harus berdasarkan kajian seperti UU No17 Tahun 2013 yang dibuat berdasarkan kajian yang mendalam.

Perppu ini, kata Hadiyanto, substansi dan isinya mengubah aturan UU yang telah ada, merupakan sebuah bentuk intervensi dari pemerintah. Kondisi ini, membuat bahaya karena ormas setiap saat terancam pencabutan dan pembubaran sepihak oleh pemerintah.

"Yang berhak melakukan itu adalah lembaga pengadilan yang kompeten untuk menguji dna mengkaji suatu ormas melanggar aturan atau bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945 atau tidak," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement