Senin 23 Oct 2017 19:05 WIB

Ajaran Intoleransi Mulai Masuk Kalangan Terdidik

Hasanuddin Ali, CEO and Founder Alvara Research Center
Foto: Dokpri
Hasanuddin Ali, CEO and Founder Alvara Research Center

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ajaran intoleransi dinilai telah masuk kalangan kelas menengah dan terdidik yang sewaktu-waktu bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan keutuhan Negara Kasatuan Republik Indonesia.

"Aparatur negara dan kelompok pekerja di BUMN mulai terpapar ajaran-ajaran intoleransi. Penetrasi ajaran-ajaran intoleransi yang anti-pancasila dan NKRI di kalangan profesional masuk melalui kajian-kajian keagamaan yang dilakukan di tempat kerja," kata CEO Alvara, Hasanuddin Ali, saat memaparkan hasil survei Alvara Research Centre dan Mata Air Foundation, di Jakarta, Senin (13/10)

Survei dilakukan terhadap 1.200 responden di enam kota besar Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Profesional yang menjadi responden adalah kalangan PNS, profesional di kalangan swasta, dan juga di kalangan BUMN. Survei dilakukan pada tanggal 10 September - 5 Oktober 2017 melalui wawancara tatap muka.

Dalam hasil survei ini juga disebutkan bahwa relasi antara agama dan negara, dari persepsi kepemimpinan, ada 29,7 persen yang tak mendukung pemimpi nonmuslim. Dari jumlah ini 31,3 persen adalah golongan PNS, kemudian 25,9 persen swasta dan 25,9 persen karyawan BUMN.

Dalam isu perda syariah, sebanyak 27,6 persen profesional mendukung perda syariah karena dianggap tepat mengakomodasi agama mayoritas. Dari jumlah itu, PNS yang mendukung perda syariah sebanyak 35,3 persen dan swasta 36,6 persen. Adapun yang menyatakan perda syariah tak tepat karena membahayakan NKRI adalah sebanyak 45,1 persen.

"Kemudian ketika ditanya Pancasila sebagai ideologi negara, mayoritas profesional sebanyak 84,5 persen menyatakan Pancasila sebagai ideologi yang tepat bagi negara Indonesia, sedangkan 15,5 persen menyatakan ideologi Islam yang tepat. Namun menariknya, PNS yang menyatakan ideologi Islam yang tepat di Indonesia ada sebanyak 19,4 persen, jauh lebih besar dibanding swasta 9,1 persen dan BUMN 18,1 persen," ujar Hasanuddin Ali.

Sekitar 29,6 persen profesional setuju bahwa negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah. Namun, ketika dipersempit dengan khilafah sebagai bentuk negara, profesional yang setuju khilafah sebanyak 16 persen, dan 84 persen menyatakan yang ideal adalah NKRI.

"Soal jihad untuk tegaknya agama Islam, mayoritas profesional tak setuju berjihad. Namun, tak bisa diabaikan juga bahwa ada 19,6 persen profesional yang setuju bahkan ini lebih banyak PNS dibanding yang BUMN maupun swasta," ujarnya.

Menanggapi hasil survei ini, Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Fajar Riza Ul Haq mengatakan, hasil survei ini adalah alarm buat semua pihak, bagaimana potret kecenderungan masyarakat muslim kelas menengah di Indonesia saat ini.

"Apa yang ditunjukkan survei ini, bukan datang tiba-tiba tapi hasil proses panjang yang konsekuensinya dirasakan sekarang. Dulu kelompok masyarakat Islam kita berdebat NU dan Muhammadiyah. Dan sekarang yang terjadi adalah kontestasi siapa yang lebih Islam. Kemudian generasi sekarang yang jadi kelas menengah adalah yang hanya merasakan gejolak reformasi tapi tak merasakan gejolak Islam orde baru," ujarnya.

Pembicara lainnya dari Lakpasdam PBNU Rumadi Ahmad mengatakan, apa yang disampaikan dalam survei ini sangat penting. Dulu banyak kalangan menilai radikalisme bukan hal serius, padahal efeknya sangat besar.

"Sekarang terbukti bahwa intoleransi masuk ke semua lini kehidupan kebangsaan. Bukan hanya masuk pada yang kelompok DNA-nya sudah radikal tapi juga kelompok yang DNA tak radikal namun ikut-ikutan. Yang tak punya imunitas terhadap radikalisme masuk dan ikut, sehingga semua dengan mudah menerima ajaran intoleransi dan radikalisme," ujar Rumadi.

Ia melihat, bahwa dari sisi usia, sebagian besar kalangan ini adalah pekerja yang masuk pasca-reformasi, di mana dalam seleksi PNS tak ada lagi yang mengecek ideologi kebangsaannya. "Kita harus menata ulang persoalan ideologi kebangsaan. Apalagi ini aparatur negara yang kelihatan. Sekali lagi ini bukan masalah sederhana. Sebab yang dimasuki ini adalah PNS, profesional swasta dan BUMN," ujarnya.

Kepala Balitbang diklat Kemenag Abdurrahman Mas'ud mengatakan, Kemenag sangat terbuka untuk meneruskan kajian dari hasil survei ini karena bisa menjadi alarm sekaligus mengambil langkah kebijakan bersama. "Hasil survei ini menurut saya perlu dielaborasi. Selanjutnya kita harus duduk bersama dan hasil kajian ini kita jadikan pijakan mengambil langkah dengan kongkrit dalam mengantisipasi radikalisme," ucapnya.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kata dia, pernah mengingatkan tentang kaum radikal yang terlihat sederhana, namun sangat brilian. Bahkan berani membunuh secara karakter maupun membunuh dalam arti sesunguhnya.

"Teologi mereka sangat literal dan selektif tanpa tafsir yang kontekstual. Itulah yang mempengaruhi Muslim Indonesia. Kelompok ini selalu mencari kelemahan lawan dan sesama muslim. Mereka siap menyerang kapan saja," jelas Mas'ud.

Ia pun mengingatkan kepada kaum muslimin untuk memahami bahwa ada bahaya yang mengancam kemanusiaan. "Kita harus satu melawan hal ini," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement