Ahad 22 Oct 2017 08:07 WIB

Ketawadhuan Terus Bersama Umar, Walaupun Menjadi Penguasa

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Menara Masjid Umar bin Khatab (kiri) di Yerusalem, Palestina.
Foto: Muqata.com/ca
Menara Masjid Umar bin Khatab (kiri) di Yerusalem, Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, Sepanjang sejarah apakah ada seorang penguasa yang menjadikan segala kehormatan dan kemegahan kekuasaannya seperti bara api yang ingin dijauhinya sejauh mungkin? Itulah akhlak Umar bin Khaththab yang wajib di contoh oleh pemimpin saat ini. Umar sang 'Singa Padang Pasir' hanya takut pada Allah SWT.

Dikisahkan dalam buku yang berjudul “Para Penggenggam Surga” karya Syaikh Muhammad Ahmad Isa, suatu hari ketika Umar sedang duduk bersama para sahabatnya, seorang pria dengan bekas perjalanan jauh di sekujur tubuhnya, menerobos masuk ke majelis tersebut. Orang-orang memanggilnya, namun tak digubrisnya. Ia berteriak kepada salah satu di antara mereka yang berada di majelis tersebut. “Ya Amirul Mukminin!” Kemudian dia menghadap orang yang ditujunya yakni Umar dan berkata dengan pedas, “Engkau Umar? Semoga Allah mengutukmu, wahai Umar!” Kemudian, dia berlalu tanpa menoleh lagi.

Sebagian dari mereka yang hadir bangkit dengan marah dan hendak menyusulnya. Tetapi Umar memerintahkan mereka untuk kembali ke tempatnya. Dia sendiri yang menyusul orang itu dengan dada bergemuruh. Ia marah bukan karena orang itu yang mengatakan, namun Allah langsunglah yang menegurnya melalui orang itu. ”Semoga Allah mengutukmu, wahai Umar.”

Ketika mampu terkejar, Umar bertanya kepada orang itu dengan lembut, “Wahai Saudaraku, mengapa aku harus menerima kutukan dari Allah?”

“Karena ada bawahan dan walimu yang zalim, tidak berlaku adil,” jawabnya.

“Siapa yang engkau maksud?” tanya Umar.

“Bawahanmu di Mesir yang bernama Iyadh ibn Ghanam.”

Kemudian Umar memilih dua orang sahabatnya dan berkata kepada mereka, “Pergilah kalian ke Mesir dan bawa Iyadh ibn Ghanam kepadaku!”

Demikianlah Umar, si perkasa yang memancarkan kekuatan, ketegasan, dan keberanian. Namun, jika ingin melihatnya seperti burung yang terkurung badai (ketakutan), maka cukup berkata, “Apakah engkau tidak takut kepada Allah, wahai Umar?” Maka, dia seakan-akan orang yang kita amal perbuatannya diberikan dengan tangan kiri di hadapannya dan seluruh semesta mencacinya. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab atas dirimu.” (QS. Al-Isra; 14) yang diingatnya.

Umar selalu bertanya kepada mereka yang menemuinya dengan sungguh-sungguh, “Demi Tuhanmu, katakan kepadaku sejujurnya bagaimana pendapatmu tentang Umar? Apakah Allah akan ridha kepadaku? Apakah kalian melihatku belum takut kepada Allah dan Rasul-Nya dalam urusan kalian?”

Diriwayatkan dari Anas yang berkata, “Pada suatu hari kami berjalan bersama sampai masuk ke suatu ruangan. Dan aku mendengar Umar berkata pada dirinya sendiri, “Umar itu Amirul Mukminin? Demi Allah wahai putra Al-Khaththab, hendaknya engkau bertakwa kepada Allah atau Dia akan mengazabmu.”

Abdullah ibn Amir ibn Rabi’ah dalam salah satu riwayat darinya berkata, “Aku menemani Umar berhaji dari Madinah ke Makkah dan dia tidak pernah mendirikan tenda atau bangunan untuk berteduh. Dia hanya menggelar kain miliknya di dahan, kemudian berteduh di bawahnya.

Ketawadhuan terus bersama Umar, walaupun dia telah menjadi penguasa. Saat menjelang maut menjemput, dia berkata kepada Abdullah (putranya), “Abdullah, pindahhkan kepalaku dari bantal dan letakkan di atas tanah. Semoga dengan demikian, Allah berkenan menjatuhkan pandangan-Nya kepadaku dan mengasihani diriku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement