Rabu 18 Oct 2017 05:18 WIB
Belajar Kitab

Tujuh Jalan Menuju Allah

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Mengingat Allah Ilustrasi.
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Mengingat Allah Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Naluri spiritual manusia pasti berhasrat untuk menjumpai Yang Ilahi. Hasrat yang kerap disebut sebagai eros religious atau hasrat keagamaan ini tak bisa dinafikkan. Siapa pun akan memiliki hasrat tersebut untuk merasakan yang Ilahi.

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjelaskan tujuh jalan untuk menuju Allah dalam bukunya Mi'rajus Salikin yang berarti perjalanan salik atau pencari kebenaran. Masing-masing tingkatan dijelaskan berdasarkan argumentasi tersendiri. Kemampuan sang Imam menyusun dalil diakui umat Islam di zamannya, sehingga dia diberi gelar dalil/argumentasi Islam yang dalam bahasa Arab disebut hujjatul Islam.

Mi'raj merupakan bagian dari kumpulan risalah singkat al-Ghazali atau Majmuatur Rasail al-Ghazali . Bagian pertama berbicara mengenai tahapan menuju Allah. Manusia selalu dihalangi oleh hijab, sehingga sulit untuk sampai kepada Yang Ilahi. Ada banyak hijab, salah satunya adalah keyakinan sesat. Sang Imam mengutip firman Ilahi, Aw kazhulumatin fi bahrin lujjiyyin. Artinya seperti kegelap an di laut yang dalam.

Bagi sang imam, ayat ini menjelaskan tentang keyakinan-keyakinan yang salah sebagai kegelapan. Keraguan yang datang silih berganti kedalam hati diibaratkan sebagai ombak yang saling berkaitan di lautan.

Agar dapat mencapai ma'rifatullah, pengetahuan Allah, maka seseorang dapat mendalami dan menghayati alam. Di dalamnya terdapat makna ilahiah. Orangorang berakal dapat memahami berbagai fenomena yang ada di alam, yang menunjukkan keagungan Sang Pencipta. Karena itulah Allah berfirman, Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi (QS Yunus (10) ayat 10).

Bagian ini juga menjelaskan tentang tubuh manusia beserta masing-masing fung sinya yang berkaitan dengan pen cer naan. Al-Ghazali menjelaskan bagai mana gizi yang terkandung dalam makanan dicerna oleh organ-organ tubuh. Pada bagian kedua, Abu Hamid menjelaskan tentang jiwa manusia. Pada bagian ini dia menjelaskan sikap tegasnya yang menolak pemikiran tentang jiwa manusia yang abadi. Dia tetap pada pendirian bahwa yang abadi hanya Allah semata. Bahwa jiwa manusia adalah ciptaan yang bersifat sementara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement