Ahad 15 Oct 2017 05:00 WIB

Memahami Sejarah Hijriyah

Pawai Obor. Anak-anak mengikuti pawai obor dalam menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1439 H di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (20/09). Tanggal 21 September menjadi awal tahun bagi penanggalan kalender 1439 Hijriah.
Foto: Iman Firmansyah
Pawai Obor. Anak-anak mengikuti pawai obor dalam menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1439 H di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (20/09). Tanggal 21 September menjadi awal tahun bagi penanggalan kalender 1439 Hijriah.

REPUBLIKA.CO.ID,  Sebelum kedatangan Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Tahun abru (Ra’s As atau Kepala Tahun) selalu berlangsung dengan matahari. Tahun baru ditandai dengan berakhirnya musim panas.

Dikutip dari buku 'Khazanah Peradaban Islam' karya Tata Septayuda Purnama, setiap bulan diawali saat munculnya hilal, berselang-seling 30 atau 29 hari sehingga 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh buah tahun yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari). Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut ‘nasi’ yang ditambahkan pada akhir tahun sesudah Dzulhijjah.

"Namun ternyata tidak semua kabilah di Semenanjung Arabia sepakat mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai 'bulan nasi’. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma 12 bulan. Lebih celaka lagi, jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan nasi dan belum masuk Muharram, menurut kalender mereka. Akibatnya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab," kata Tata dalam buku tersebut.

Setelah masyarakat Arab memeluk agama Islam dan bersatu di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW turunlah perintah Allah SWT agar umat Islam memakai kalender lunar yang murni dengan menghilangkan ‘bulan nasi’. Hal ini tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 36-37:

 

Sesungguhnya bilangan bulan-bulan di sisi (hukum) Allah ialah dua belas bulan, (yang telah ditetapkan) dalam Kitab Allah semasa Ia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati. Ketetapan yang demikian itu ialah agama yang betul lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan yang dihormati itu (dengan melanggar laranganNya); dan perangilah kaum kafir musyrik seluruhnya sebagaimana mereka memerangi kamu seluruhnya; dan ketahuilah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (At-Taubah 9:36)

Sesungguhnya perbuatan mengundurkan (kehormatan itu dari satu bulan ke satu bulan yang lain) adalah menambah kekufuran yang menjadikan orang-orang kafir itu tersesat kerananya. Mereka menghalalkannya pada satu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, supaya mereka dapat menyesuaikan bilangan (bulan-bulan yang empat) yang telah diharamkan Allah (berperang di dalamnya); dengan itu mereka menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah. Perbuatan buruk mereka itu dihias dan dijadikan indah (oleh Syaitan) untuk dipandang baik oleh mereka. Dan (ingatlah) Allah tidak memberi hidayah petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (At-Taubah 9:37)

Dengan turunnya wahyu Allah di atas, Nabi Muhammad SAW menyatakan, bahwa kalender Islam tidak lagi tergantung pada perjalanan matahari. Mengapa harus kalender lunar murni? Hal ini disebabkan agama Islam bukanlah hanya untuk masyarakat Arab di Timur Tengah, melainkan untuk seluruh umat manusia diberbagai penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya berbeda-beda. Jika Ramadhan ditetapkan menurut sistem kalender solar atau lunisolar, maka masyarakat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di musim panas atau selalu di musim dingin, hal ini sangatlah tidak adil.

Ketika Nabi Muhammad SAW wafat tahun 632, kekuasaan Islam baru meliputi Semenanjung Arabia. Kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khaththab (634-644) kekuasaan Islam meluas dari Mesir hingga Persia. Pada tahun 638, Gubernur Irak Abu Musa Al-Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah, yang isinya antara lain : “Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun.”

Khalifah Umar bin Khaththab menyetujui usul gubernurnya ini. Lalu dibentuklah panitia yang diketuai Khalifah Umar sendiri dengan anggota enam sahabat Nabi terkemuka yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan tahun 1 dari kalender yang selama ini digunakan tanpa angka tahun.

Ada yang mengususlkan perhitungan dari tahun kelahiran Nabi (‘Am Al-Fil/tahun gajah 571 M), ada pula yang mengususlkan tahun turunnya wahyu Allah yang pertama (‘Am Al-Bi’tsah, 610 M). Namun, akhirnya yang disepakati panitia adalah usul dari Ali bin Abi Thalib, yaitu tahun hijrahnya kaum muslimin dari Makkah ke Madinah (‘Am Al-Hijrah, 622 M).

Ali bin Abi Thalib berkata, “Ada tiga argumentasi yang menyangkut hal itu. Pertama dalam Alquran sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru). Kedua, masyarakat Islam berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah hijrah ke Madinah. Ketiga, umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijrah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah kepada kondisi yang lebih baik.”

Kalender Hijriah, setiap tahun 11 hari lebih cepat dari kalender Masehi, sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender ini lambat laun makin mengecil. Angka tahun Hijriah pelan-pelan mengejar angka tahun Masehi dan menurut rumus di atas, keduanya akan bertemu pada tahun 20526 Masehi yang bertepatan dengan tahun 20526 Hijriah. Saat itu, kita entah sudah berada di mana. “Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian.” Begitulah pesan Alquran dalam surat Al-Ashr.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement