Senin 23 Oct 2017 17:15 WIB

Memahami Tradisi Tasawuf

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Kitab tasawuf (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Kitab tasawuf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tasawuf secara lahir menampakkan praktik asketis. Praktisinya berpenampilan sederhana, jauh dari gaya hidup kekinian. Mungkin juga seorang sufi berbadan kurus, karena hanya makan secukupnya. Shalat, puasa, zikir, dan berbagai ritual syariah menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan.

Mereka memandang dunia bukan sebagai tempat akhir. Setelah mati, masih ada kehidupan lain, pertanggungjawaban semua amal di dunia di hadapan Allah. Ini yang paling berat. Pertanggungjawaban di Mahsyar akan dinilai Allah, apakah seseorang akan menjadi ahli surga atau sebaliknya penghuni neraka.

Ada banyak pertanyaan mengenai tradisi ini. Apa inti tasawuf? Mengapa tradisi ini menjauhi dunia? Apa manfaatnya bagi kehidupan duniawi? Apakah tasawuf harus selalu menampakkan kesederhanaan? Pertanyaan itu semua dijawab oleh intelektual Muslim Syed Naquib al-Attas dalam bukunya Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays.

Buku yang terbit pada 1963 menjadi pengantar yang mudah bagi siapa pun yang mendalami tasawuf. Gagasan di dalamnya merupakan hasil pengembaraan ke ilmuan al-Attas belajar dari ulama dahulu dan juga orientalis di Barat, seperti Arthur John Arberry.

Kecanggihan al-Attas dalam mengkaji Islam terlihat pada interpretasinya yang merujuk langsung kepada sumber yang otoritatif. Kemampuannya berbahasa Arab dan sejumlah bahasa Eropa, memudahkannya untuk membedah kajian- kajian Islam yang bias.

Kemampuan itu sangat terlihat dalam kitab sufisme. Buku yang tipis ini mengantarkan pembacanya pada kesimpulan, bahwa sufisme ternyata menginspirasi berbagai aspek kehidupan. Keaslian ajaran ini sudah terbukti yang dipraktikkan masyarakat sejak dulu hingga saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement