Rabu 27 Sep 2017 20:02 WIB

Cegah Kasus Stunting, Fatayat NU Bentuk Gerakan Barnas

Rep: Muhyiddin/ Red: Endro Yuwanto
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Anggia Ermarini.  (Republika / Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Anggia Ermarini. (Republika / Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil pemantauan status gizi (PSG) yang dilakukan Kementerian Kesehatan mencatat, angka kasus stunting (tubuh pendek) di Indonesia masih cukup tinggi. Karena itu, untuk mencegah kasus kekurangan gizi itu Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) membentuk gerakan Barisan Nasional Cegah Stunting (Barnas).

Pada tahun 2016, PSG menemukan 27,5 persen bayi di Indonesia berada dalam status stunting. Hal ini menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus stunting tertinggi di Asia. Di dunia, Indonesia menduduki posisi ke-17 dari 117 negara.

Walaupun data kasus ini sudah menunjukkan penurunan dibanding tahun 2013, berdasarkan data Riskesdas menyebutkan, angka kasus stunting mencapai 37,2 persen. Angka ini memperlihatkan, tiga atau empat dari 10 anak di Indonesia dalam kondisi stunting.

Ketua Umum Fatayat NU Anggia Ermarini mengatakan, berapapun angka yang diperoleh, namun tetap saja perlu upaya keras dari berbagai pihak untuk mensukseskan program pencegahan stunting ini.

"Oleh karena itulah, Fatayat NU membuat gerakan bersama dalam pencegahan stunting melalui pembentukan Barnas," ujar Anggia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Rabu (27/9).

Anggia menuturkan, Barnas dibentuk dengan fokus kegiatan untuk meningkatkan pemahaman tentang 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode emas atau periode 1.000 HPK, yaitu sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun, merupakan periode yang sangat penting.

"Pasalnya, pada periode inilah rentan terjadi hambatan pertumbuhan yang disebabkan kurang gizi," ucap Anggia.

Selain itu, menurut Anggia, Barnas dibentuk juga untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya ASI ekslusif, memberikan pembelajaran pemberian makanan anak 6-23 bulan kepada ibu, serta melakukan advokasi kepada tokoh agama agar memberikan penguatan kepada masyarakat melalui pendekatan agama.

"Seirama dengan Barnas, PP Fatayat NU juga menyerukan aksi bersama masyarakat dan pemerintah untuk mendewasakan usia perkawinan dan menolak pernikahan anak," ucapnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan ahli gizi Indonesia, menurut Anggia, perkawinan anak berpotensi melahirkan generasi stunting, dikarenakan calon ibu masih dalam masa pertumbuhan. Pada usia ini, calon ibu belum siap hamil dan melahirkan. Selain itu, secara psikologis mereka juga belum siap untuk menjadi orang tua.

Tidak hanya itu, Fatayat NU juga menyerukan aksi agar setiap ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan rutin, minum tablet tambah darah, dan mengkonsumsi makan seimbang dan memastikan ibu melahirkan di tempat layanan kesehatan dan ditolong oleh tenaga kesehatan.

Gerakan yang dilakukan Fatayat NU ini berpegang pada salah satu ayat Alquran yang berbunyi: "Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak (generasi) yang lemah. Mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka...(QS An-Nisa': 9).

"Maka sebagai hamba Allah yang beriman, kita harus berjuang untuk mewujudkan generasi emas Indonesia di masa depan. Karena mereka adalah orang yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini. Generasi sehat generasi hebat," kata Anggia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement