Jumat 06 Oct 2017 14:56 WIB

Mengapa Hijrah Rasulullah Jadi Dasar Penanggalan Islam?

Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS (kiri).
Foto: Dok SBBI
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR --  Allah SWT menegaskan dalam Surah at-taubah (9) ayat 36, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Dalam kalender Hijriyah, terdapat 4 bulan haram. Yakni bulan Dzulqoidah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab. Dalam keempat bulan ini, Allah SWT melarang kaum Muslimin menganiaya diri dan berperang.

Menurut Guru Besar IPB Prof Didin Hafidhuddin MS, dalam sistem penanggalan ini, terdapat perbedaan yang substansial antara penanggalan Masehi dan Hijriyah. “Dalam penanggalan Masehi, hanya penamaan bulan. Sedangkan, dalam bulan-bulan Hijriyah, tidak hanya penamaan bulan, tetapi terkandung di dalamnya peristiwa yang penting juga perintah-perintah untuk beribadah,” kata Didin Hafidhuddin saat mengisi pengajian guru dan karyawan Sekolah Bosowa Bina Insani (SBBI) di Masjid Al-Ikhlas Bosowa Bina Insani Bogor, Jawa Barat, Jumat (6/10) pagi.

Sebagai contoh, dalam setiap bulan hijriyah, Rasulullah Saw. menganjurkan untuk melaksanakan puasa tiga hari, di pertengahan bulan, tanggal 13, 14, dan 15 yang dinamakan shaum yaumun bidh.

 

Kiai Didin mengutip Surah al-Baqarah (2) ayat 189, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji …”

 

“Dengan demikian, perhitungan bulan ini menunjukkan waktu-waktu tertentu di bulan-bulan hijriyah ini yang terdapat perintah untuk beribadah secara khusus,” kata Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor itu.

Hari ini, kata mantan ketua Baznas itu, sedang terjadi ghazwul fikri (perang pemikiran) di tengah-tengah kaum Muslimin. “Tanpa disadari, sedikit demi sedikit, kaum Muslimin dijauhkan dari agamanya. Termasuk pengetahuan mereka tentang urgensitas penanggalan hijriyah. Banyak kaum Muslimin yang lebih mengutamakan penanggalan Masehi,” tuturnya.

Didin menjelaskan, dalam sistem penanggalan Islam, momentum hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah yang dijadikan dasar oleh Sahabat Umar ibn Khaththab ra dan juga Utsman ibn Affan ra. untuk menetapkan penanggalan. Hal ini karena: pertama, Islam melarang umatnya untuk mengultuskan individu.

Siapa pun dia, tidak boleh dikultuskan. Termasuk diri pribadi Rasulullah SAW.  “Kita memang diperintahkan untuk mencintainya, mengikuti sunnahnya, tetapi tidak untuk dikultuskan. Maka dari itu, penanggalan hijriah ini tidak diambil dari hari kelahiran atau wafatnya Rasulullah SAW,” ujarnya.

Kedua, hijrah merupakan pergerakan bersama kaum Muslimin, atas perintah Allah. “Hijrah itu, wujud keimanan seseorang. Agar kehidupan kaum Muslimin hidup lebih baik,” tuturnya.

 

Ketiga, momentum hijrah merupakan wujud bangunan peradaban yang mulia dan sebenarnya. Dalam pada itu, inilah satu-satunya peradaban yang memuliakan wanita, menghilangkan perbudakan, menghargai ilmu, mengajarkan kebaikan, dan sebagainya, mengeluarkan manusia dari kejahiliyahan menuju cahaya yang terang benderang.

“Inilah beberapa alasan yang melatarbelakangi momentum hijrah Rasulullah SAW  dari Makkah ke Madinah dijadikan sebagai dasar penanggalan Islam,” papar Kiai Didin Hafidhuddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement