Jumat 13 Oct 2017 19:43 WIB

Meninggalkan Keburukan

Hijrah, ilustrasi
Hijrah, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Hijrah bagi sebagian orang mungkin hanya dimaknai sebagai pejalanan dari suatu tempat kepada tempat lainnya. Padahal, lebih dari itu hijrah mempunyai makna yang lebih dalam, sehingga patut dipahami oleh umat yang hidup di zaman kemerosotan moral ini.

Hijrah secara bahasa berarti meninggalkan atau pindah. Secara umum, hijrah bermakna meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah SWT, seperti keburukan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Sementara, secara khusus hijrah bermakna pindahnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dalam rangka menyelamatkan iman dan Islam serta membangun peradaban baru di tempat yang baru pula.

Dalam konteks berbeda, Imam al-Asfahani mengatakan bahwa hijrah berarti terpisahnya seseorang dengan yang lainnya, baik berpisah secara fisik, lisan, atau dengan hati. Dengan demikian, umat yang tidak berbicara karena rasa benci kepada umat lainnya termasuk hijrah. Sikap buruk seperti ini tentu dilarang dalam ajaran Islam, khususnya jika rasa benci tersebut dibiarkan lebih dari tiga hari.

Sementara, salah satu ulama Islam Al-Jurjani menjelaskan, hijrah adalah meninggalkan tanah air yang dibawah kekuasaan orang-orang kafir menuju ke daerah Islam yang damai. Hal ini merujuk pada peristiwa hijrah yang pernah yang dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabatnya.

Dalam pembahasan ini, hijrah merupakan istilah yang membicarakan peperangan antara kebaikan dan kejahatan. Karena itu, hijrah dapat berarti juga sebagai sikap melawan keburukan atau kejahatan seperti yang telah dicontohkan para nabi.

Seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim AS. Dalam kisahnya, Nabi Ibrahim AS selalu berusaha keras untuk mencurahkan kemampuannya dalam mengajak kaumnya untuk meninggalkan berhala. Saat itu, Nabi Ibrahim menyerukan kaumnya untuk berhijrah menyembah Allah yang Maha Esa. Alquran telah membahas hal ini dalam surah an-Nahl (QS [16]:120 -122), Maryam (QS [19]:41-48), at-Taubah (QS [19]: 114), Ibrahim, (QS [14]:35-41), dan Surat al-Anbiya (QS [21]:51-70).

Selan itu, Umar bin Khattab RA juga pernah mendengar langsung perkataan dari Rasulullah tentang hijrah. Berikut hadisnya, "Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya." (HR Bukhari dan Muslim)

Menurut Al-Zubair bin Bakkar, hadis tersebut diriwayatkan saat Rasulullah dan sahabatnya baru tiba di Kota Madinah. Saat itu, ada seorang sahabat yang ikut hijrah tapi dengan tujuan hanya ingin melamar seorang wanita yang juga ikut hijrah. Karena itu, orang yang hijrah harus mempunyai tujuan yang jelas dan disadari oleh motivasi dan keikhlasan hati, sehingga bisa menjadi orang-orang yang beriman.

Allah SWT berfirman dalam Alquran,"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang." (QS al-Baqarah [2]:218),

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement