Jumat 01 Sep 2017 10:54 WIB

Refleksi Keagamaan Harus Dibingkai dalam Bangsa Majemuk

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Suasana shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Jumat (1/9).
Foto: Republika/Ronggo Astungkoro
Suasana shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Jumat (1/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Negara Indonesia merupakan negara majemuk. Karena itu, jangan sampai, atas nama agama, Muslim mengabaikan negara dengan segala instrumen-instrumennya. 

Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI Kamaruddin Amin mengatakan, dalam konteks Indonesia yang majemuk, refleksi keagamaan harus dibingkai dalam konteks kebangsaan yang majemuk tersebut. Dengan kata lain, dia menerangkan, menjadi Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu yang baik dan benar harus pula menjadi warga Negara bangsa yang baik. 

"Tujuan beragama adalah menciptakan kemaslahatan manusia sebagai khalifah tuhan di muka bumi. Hanya dengan berbangsa dan bernegara amanah tersebut dapat diwujudkan," kata dia dalam khotbahnya pada shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (1/9).

Komaruddin mengatakan, beragama tanpa berbangsa dan bernegara, atau dengan mengabaikan konteks bangsa dan negara, tidak hanya ahistoris, tetapi juga bertentangan dengan agama dan tujuan beragama itu sendiri. Agama juga harus menjadi inspirasi yang mengilhami seluruh refleksi kebangsaan bangsa Indonesia.

"lnilah takdir Indonesia, negara bangsa yang relijius. Keragaman yang sesungguhnya mengandung pretensi dan potensi disintegratif akan mewujud kalau dalam mengelola keragaman egoisme, absolutisme dan ekslusivisme tak dapat kita hindarkan," kata dia. 

Ber-Islam, dia melanjutkan, adalah tunduk pasrah secara total dan otentik atas perintah agama. Ketika berhadapan dengan perintah agama, dia menerangkan, kepentingan pribadi, kecintaan terhadap keluarga, harta, jabatan, dan segala kepentingan lain menjadi tenggelam.

"(Tapi) dalam kehidupan, tak jarang perintah Allah dikaburkan bahkan dilanggar untuk mewujudkan kecintaan kita kepada keluarga, jabatan, dan harta," kata dia. 

Bahkan, Kamaruddin mengatakan, agama sering dijadikan pembenaran untuk mewujudkan ambisi yang tak ada hubungannya dengan agama itu sendiri. Padahal, kepasrahan hakiki terhadap perintah agama dapat melahirkan integritas, kekhusyukan, dan ke-ashiq-an dalam beribadah. Terutama untuk kepribadian yang berorientasi pada kepentingan umat dan manusia secara keseluruhan.

"Penguatan karakter seperti ini harus menjadi narasi dan agenda utama. Ini harus dilakukan dengan melakukan kontekstualisasi nilai nilai agama dan revitalisasi modal sosial, politik budaya dan agama," kata Kamaruddin. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement