Ahad 13 Aug 2017 19:07 WIB

Jejak Laksamana Cheng Ho di Tarakan

Cheng Ho
Foto:

Baloy Adat Tidoeng juga dinamakan Baloy Mayo Djamaloel Qiram untuk mengenang kepala suku pertama yang beragama Islam. Komplek itu mulai dibangun tahun 2004 silam di lahan seluas 2,5 hektare dan berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan Suku Tidoeng sekaligus sebagai tempat tujuan wisata rekreasi.

H Edi Wijaya, anak dari Moechtar Basri menjelaskan, salah satu rumah adat panggung itu sengaja berdiri di atas kolam besar dengan replika kapal untuk memberikan penjelasan bahwa sebenarnya mata pencaharian suku itu adalah nelayan.

Edi juga membuka toko cindera mata di areal komplek itu yang menjual kaos, baju, sarung dan hiasan khas Dayak Tideong yang mengandung motif khas. Ia menjelaskan, berbagai motif ornamen yang ada di busana, mandau, dan perlengkapan adat lain itu murni hasil kreasi ayahnya yang digali dari sejarah dan olah batin dan bukan motif yang mengada-ada.

Menurut Saparudin, salah satu ornamen yang menghiasi dinding rumah adat yaitu gambar ikan besar yang disebut masyarakat setempat sebagai Keraton. Masyarakat dulu masih menjumpai ikan Keratong yang mempunyai panjang sampai empat meter dengan bobot satu ton.

"Ikan itu diyakini masih ada sampai sekarang dan hanya ada di hutan yang dikenal keramat," katanya. Bagi pengunjung yang ingin mengenal sejarah Suku Tidoeng juga bisa membeli buku seharga Rp 75 ribu di toko cindera mata itu.

Laksamana Cheng Ho yang juga mempunyai nama Arab Haji Mahmud Shams (1371 - 1433), adalah seorang pelaut dan penjelajah Cina. Ia terkenal dengan melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 hingga 1433.

Beberapa tempat lain di Nusantara yang disiggahi antara lain Pulau Sabang, Pulau Batam, Pulau Bangka, dan Semarang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement