Kamis 20 Jul 2017 15:30 WIB

Berharap yang Baik

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Berbuat baik pada orang lain bisa meningkatkan rasa bahagia dalam diri penolong.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Berbuat baik pada orang lain bisa meningkatkan rasa bahagia dalam diri penolong.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Imam al-Ghazali kemudian mengutip perkataan Yahya bin Muaz, "Sebesar-besar tertipu menurutku ialah mengharapkan ampunan Tuhan tanpa penyesalan, kemudian dibarengi dengan tetap berbuat dosa dan mengharapkan dekat kepada Allah tanpa taat.

Semua itu sama saja seperti menunggu hasil tanaman surga dengan benih neraka.

Mengharapkan kampung bahagia di akhirat dengan dosa dan maksiat. Menunggu pembalasan yang baik di surga tanpa beramal. Dan, bercita-cita sesuatu yang baik dari Allah, tetapi sembrono (sembarangan) tidak keruan.”

Golongan seperti ini mendapat kecaman keras. Berharap kebaikan dari Tuhan, tetapi di saat bersamaan maksiat tetap mereka langgar. Ini seperti tertuang dalam surah al-A'raf ayat 169. "Sesudah itu datanglah angkatan baru (yang jahat) menggantikan. Mereka mempunyai kitab, mengambil harta benda kehidupan dunia yang rendah ini dengan cara yang tidak halal, dan mereka berkata: Nanti (kesalahan) kami akan diampuni.”

Al-Ghazali pun mengutip pernyataan seorang sufi, Ma'ruf al-Kurkhi: “Mencari surga tanpa amal merupakan dosa dari segala dosa. Mengharapkan syafaat tanpa amal berarti tipuan. Dan, mengharapkan rahmat Allah di samping maksiat adalah bodoh dan jahil."

Simak surah Fusshilat ayat 23 berikut: “Dan yang demikian itu adalah dugaanmu yang keliru terhadap Tuhanmu. Dugaan itulah yang membawa kamu kepada kecelakaan, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang menderita kerugian."

Demikianlah risiko berharap pahala, sementara di saat yang sama tidak diikuti dengan aksi positif yang nyata. Permisalan yang disampaikan al-Ghazali cukup tepat guna menggambarkan kondisi di atas. “Menanam biji iman tanpa disiram dengan air ketaatan.

Padahal, berharap yang baik itu maknanya menyucikan hati dari akhlak tercela. Yang dinanti, hanyalah karunia agar hati terjaga hingga akhir hayat. Di pengujung ajal, mendapat kematian sempurna. Itu adalah harapan hakiki yang terpuji,” kata al-Ghazali yang juga penulis mahakarya Tahafut al-Falasifah itu. 

Jika tidak bersungguh-sungguh menyirami biji benih iman dengan air taat atau meninggalkan hatinya penuh dengan kehinaan akhlak, tenggelamlah ia dalam mencari kenikmatan dunia, kemudian barulah mengharapkan keampunan Allah. “Yang demikian juga merupakan bodoh,” tutur al-Ghazali.

Kebodohan seperti itu, sebut sosok yang wafat pada 1111 M/505 itu, adalah mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Itu adalah perbuatan yang sia-sia. Bukan kategori raja'. Ibarat menunggu matahari terbit di ufuk timur. Begitu indah dan niscaya datang. Menanti kematian seperti menunggu matahari, tak mungkin hanya dengan duduk manis. Ada dinamika positif di sana, menyiapkan bekal agar penantian berujung manis, berakhir dan ditutup dengan khusnul khatimah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement