Ahad 15 Jun 2014 07:42 WIB

Pilih Hisab atau Rukyat? (1)

Rukyatul hilal
Foto: Antara/Saiful Bahri
Rukyatul hilal

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hafidz Muftisany

Keputusan pemerintah bisa menghilangkan silang pendapat.

Dalam hitungan hari, Ramadhan kembali menyapa. Menjelang puasa, ada hal-hal yang rutin menjadi perbincangan orang-orang Indonesia. Di antaranya, naiknya harga sembako dan kapan ditetapkannya awal Ramadhan dan Syawal?

Mungkin hanya di Indonesia, sering terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Syawal. Namun, umat Islam di Indonesia menyikapinya dengan bijak. Tak menjadi persoalan serius berbedanya awal penetapan Ramadhan dan Syawal.

Masing-masing bisa saling menghormati pilihan yang lain. Namun, tentu saja, masih terselip harapan jika ke depan, semua bisa kompak dan patuh pada satu keputusan nasional.

Perbedaan penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia terletak pada metodenya. Dalil-dalil hukum dari Alquran dan hadis yang dipakai pun beririsan. Namun, perbedaan menafsirkan dalam metode menjadi khilafiyah.

Salah satunya hadis dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Berpuasalah (Ramadhan) jika kamu melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah  kamu jika melihat tanggal (satu Syawal), Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban 30 hari. (HR Bukhari Muslim).

Hadis ini menjadi dasar dua metode sekaligus, rukyat atau melihat bulan dan hisab dengan melihat penanggalan. Penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia boleh dibilang didominasi tiga elemen besar.

Yakni, dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) serta pemerintah yang diwakili Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Qamariyah khususnya bulan Ramadhan dan Syawal menggunakan kriteria ijtima' qablal ghurur dan posisi bulan di atas ufuk secara satu kesatuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement