Jumat 19 May 2017 16:43 WIB
Belajar Kitab

Rahasia Kaligrafi Terletak dalam Arahan-Arahan Pembimbing

Rep: Nashih Nasrullah/Berbagai Sumber/ Red: Agung Sasongko
Kafilah menjalani lomba kaligrafi dan dekorasi yang merupakan rangkaian MTQ Nasional ke XXVI di Gedung Graha Bhakti Praja Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (1/8).(Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Kafilah menjalani lomba kaligrafi dan dekorasi yang merupakan rangkaian MTQ Nasional ke XXVI di Gedung Graha Bhakti Praja Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (1/8).(Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belajar sesuatu mesti ada guru atau pembimbingnya. Demikian ditegaskan Syekh Ibrahim bin Ismail az-Zarnuji, pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim. Sebab, tanpa bimbingan seorang guru, dikhawatirkan murid atau pelajar tak mampu memahami kandungan makna yang tersirat dari buku yang dipelajarinya.

Hal ini pula yang ditekankan Didin Sirajuddin dalam kitab Nashaih al-Khaththathin (Nasihat untuk Penulis Kaligrafi). Menurutnya, di antara keberhasilan belajar kaligrafi adalah bimbingan atau guru. Posisi seorang guru sangat krusial dalam proses belajar mengajar.

 

Demikian pula ketika mempelajari seni kaligrafi. Sebab, sebagian rahasia kaligrafi tersimpan dan terletak dalam arahan-arahan para pengajar. Kadang-kadang terdapat sejumlah teknik yang tak bisa dijelaskan melalui kalimat, tetapi harus disampaikan secara lisan. Di sinilah pentingnya seorang guru.

Ada sebuah ungkapan yang disandarkan kepada Ali bin Abi Thalib. Rahasia kaligrafi ada di balik arahan guru dan mutunya tergantung pada seringnya latihan.

Dalam kitab Majmu’ Rasail fi Ilmi Al-Khath, Qadli Zadah bin As-Shalawataini mengutip sebuah syair yang isinya menerangkan tiga hal yang mesti dipilih sebelum menekuni kaligrafi Islam. Salah satu yang paling mendasar adalah keberadaan guru.

Seorang pembimbing akan membantu memberi arahan mengenai segala hal yang berkaitan dengan usaha membuat karya bernilai seni tinggi. Tanpa kehadiran guru, sang murid hanya akan mengandalkan kekuatan akal dan menyampingkan nilai estetika yang terkandung di balik seni kaligrafi.

Dengan bimbingan dan arahan guru, pola hubungan dan interaksi kedua belah pihak akan terjalin dengan baik. Tak hanya sekadar ikatan antara guru dan murid, tetapi lebih dekat lagi layaknya hubungan antara anak dan orang tua.

Dalam berkomunikasi dan berinteraksi, seorang murid sekaligus anak harus menghormati arahan dan nasihat guru. Rasa saling percaya penting ditumbuhkan agar transformasi keilmuan dapat terwujud dengan baik. Sejarah telah membuktikan bahwa kesuksesan seorang kaligafer berkait erat dengan keberadaan seorang guru. Bahkan, penghormatan kaligrafer terhadap guru dikaitkan dengan murka atau ridha Allah.

Salah satu contohnya adalah sebuah cerita tentang kisah Ad-Darwisy Muhammad atau yang sering dikenal dengan panggilan Al-Kaukab (1149 M/1137 H), murid dari Al-Hafizh Utsman. Ia merasa tak pernah mendapatkan didikan dari gurunya. Karena itu, ia pun merasa tidak berhak untuk memberi penghormatan kepada Al-Hafizh Utsman. Saya bisa menulis jauh lebih bagus dari karya guru saya, kata dia lantang.

Lantaran kesombongannya itulah, Al-Kaukab mendapat ganjaran setimpal. Suatu ketika, ia bermaksud mengambil lembaran mushaf dari tangan gurunya. Namuni, saat hendak memindahkan mushaf tersebut, secara tidak sengaja sebilah pisau memotong kedua jarinya.

Hampir setahun, ia mengalami luka itu. Namun, setelah sembuh, ia tak mampu lagi menghasilkan karya yang indah. Inilah contoh betapa kesombongan dan tak menghormati seorang guru bisa membawa bencana bagi murid yang tak patuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement