Senin 02 Oct 2017 18:24 WIB

Santri dan Ulama Dua, Hal yang tak Terpisahkan

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Pondok Pesantren Tahfizh, Daarul Qur’an akan menggelar doa bersama untuk etnis Rohingya (Ilustrasi)
Foto: Humas Darul Qur'an
Pondok Pesantren Tahfizh, Daarul Qur’an akan menggelar doa bersama untuk etnis Rohingya (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Indonesia memiliki kebudayaan yang luas, terbentuk dari berbagai komunitas kesukuan dan agama, salah satunya Islam. Di antara kekayaan kebudayaan Islam yang khas di Indonesia adalah keberadaan santri dan ulama. Keduanya adalah hal yang saling berhubungan satu sama lain.

Santri sebagai ‘pelajar Islam’ memang ada di negara-negara Muslim di seluruh dunia, tetapi santri sebagai pelajar di lembaga pendidikan Islam tradisional yang unik adalah khas Indonesia.                                             

“Bila pelajar Islam di negara-negara Muslim lain terkait dengan maktab, suffah, madrasah atau zawiyah, maka santri Indonesia tak terpisahkan dari pesantren yang dipimpin para kiai atau ulama,” kata Achmad Syahid seperti ditulis dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia yang diterbirkan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Dirjen Kemendikbud.

Santri berkembang menjadi komunitas demikian juga kiai atau ulama, pemimpin pesantren yang saling berkaitan dalam sistem kekerabatan ulama. Kiai dan santri tak bisa dipisahkan sebagai bagian dalam tatanan kebudayaan Islam di nusantara. Santri dilahirkan dari pesantren dan kekerabatan para ulama adalah “mesin” yang membuat pesantren berkembang biak. Ulama-ulama baru bermunculan, menyebar dan mengajarkan Islam kepada masyarakat luas secara intensif.

“Pesantren menemukan kemapanannya pada abad ke-19 di nusantara. Tetapi, bibit kelahirannya terbentuk jauh sebelum itu yakni sejak awal masa Islamisasi. Misalnya, pesantren Quro di Karawang didirikan Syekh Quro yang bernama asli Syekh Hasanuddin. Kemudian pesantren Ampel Denta dipimpin oleh Sunan Ampel yang sering dijadikan tempat berkumpul dan musyawarah parawali (walisanga), keduanya berdiri pada abad ke-15,” ucapnya.

Namun, pesantren yang melahirkan santri dalam jumlah massal dan membentuk jaringan kekerabatan ulama adalah pesantren yang disebutkan dhofier. Ini karena, kata dia, pesantren memiliki lima pilar utama: kiai, santri, kitab kuning, pondok, dan masjid. Pesantren dalam pengertian ini baru berkembang pada abad ke-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement