Senin 02 Oct 2017 17:26 WIB

Profesionalisasi Ulama di Nusantara Lahir pada Abad ke-19

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah santri mengaji kitab kuning di kompleks pondok pesantren (Ilustrasi)
Foto: Antara/Zabur Karuru
Sejumlah santri mengaji kitab kuning di kompleks pondok pesantren (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Abad ke-19 merupakan periode penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Sebab, pada periode tersebut, melahirkan profesionalisasi ulama. Ulama menjadi tokoh elit sosial keagamaan yang berperan penting dalam kehidupan keagamaan Muslim, sekaligus masalah-masalah kehidupan sosial dan politik di masyarakat.

Bermula dari jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia pada abad ke 18, disebabkan campur tangan Eropa ke dalam jaringan perdagangan di nusantara. Ulama yang pada periode itu sebagai pejabat kerajaan, khususnya menjabat sebagai kadi, bertransformasi menjadi pemimpian agama di lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren. Berjalannya waktu, ulama menjadi masyarakat desa di wilayah pedalaman dan membawa mereka menyatu dalam kehidupan agraris.

“Para ulama, selain dimintai pendapat mengenai masalah perkawinan, perceraian, dan waris, mereka juga mengingatkan para penduduk desa mengenai musim yang tepat untuk bercocok tanam,” kata Raffles, seperti yang dikutip dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia yang diterbirkan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Dirjen Kemendikbud.

Pada abad ke-19, pesantren telah berkembang sedemikian rupa sebagai lembaga pendidikan Islam bagi kaum Muslim Indonesia. Data statistik pemerintah Belanda mencatat terdapat sekitar 15 ribu pesantren yang tersebar di wilayah Jawa dan Madura, dengan jumlah santri mencapai 23 ribu orang (van den Berg 1886: 518-9). Di atas sebidang tanah, seorang ulama membangun pesantren yang terdiri dari sebuah mesjid, asrama untuk para santri, dan sebuah rumah untuk ulama atau kiai serta keluarga mereka (Dhofier 1982: 44-5).

 

Di lingkungan pesantren inilah seorang ulama memberikan pelajaran keagamaan untuk para santri, menyangkut ilmu-ilmu keislaman maupun praktik keagamaan. Ketika jumlah santri makin bertambah besar, pesantren kemudian berkembang menjadi sebuah komunitas keagamaan, dengan pola kehidupan tertentu.

Pesantren menjadi pusat dari dinamika kehidupan Islam dan ulama tampil menjadi elit yang sangat dihormati dengan kekuatan spiritual-kegamaan bagi masyarakat sekitar. Pengaruh keagamaan pesantren semakin besar ketika ia dipimpin oleh seorang ulama yang memiliki pengalaman belajar di Timur Tengah, khususnya Makkah. Ulama dengan pengalaman belajar di Makkah dianggap memiliki otoritas keagamaan lebih tinggi.  Mereka menjadi agen utama proses transmisi wacana Islam yang berkembang di Makkah ke bumi Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement