Jumat 28 Apr 2017 20:20 WIB

Jual Beli Salam (1)

Jual beli di sebuah pasar (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Jual beli di sebuah pasar (ilustrasi).

Oleh: Prof Dr M Suyanto, Ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari Ibnu Abi Najih, dari Abdullah bin Katsir, dari Abu Al Minhal, dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, "Nabi SAW datang ke Madinah dan manusia melakukan jual-beli salaf pada kurma setahun atau dua tahun – atau dia mengatakan dua atau tiga tahun, Ismail ragu – maka beliau bersabda, "Barang siapa melakukan jual-beli salaf pada kurma, maka hendaklah dia melakukan nya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui." Muhammad telah menceritakan kepada kami, Ismail telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Najih seperti ini… "Dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang dike tahui."

Ibnu Hajar nenafsirkan bahwa kata 'salam' juga bermakna "salaf" Al Mawardi menyebutkan bahwa kata "salaf" adalah bahasa penduduk Irak, sedangkan "salam" adalah bahasa penduduk Hijaz. Se bagian lagi mengatakan bahwa pada jualbeli sistem salaf harga diserahkan terlebih dahulu, sedangkan dalam sistem salam harga diserahkan saat transaksi.

Dari 'sisi ini, maka pengertian "salaf" lebih luas. Adapun "salam" menurut syariat adalah jual-beli sesuatu yang berada dalam tanggungan (dzimmah). Adapun mereka yang membatasinya dengan kata "salam" , mereka menambahkannya pada definisi tersebut.

Sedangkan mereka yang menambahkannya kalimat "dengan imbalan yang diberikan secara tunai" perlu ditinjau kembali, sebab hal ini tidak masuk dalam hakikat jual-beli tersebut. Para ulama sepakat bahwa jual-beli ini disyaratkan, kecuali pendapat yang di riwayatkan dari Ibnu AL Musayyah. Na mun, mereka berbeda pendapat tentang sebagian syarat-syaratnya, mereka sepa kat mensyaratkan pada jual-beli sistem "salam" semua syarat yang berlaku pada jual-beli.

Selain itu, modal harus diserahkan pada saat transaksi. Lalu mereka berbeda pendapat; apakah jual-beli dengan sistem salam adalah transaksi yang mengandung unsur penipuan tetapi diperbolehkan karena adanya kebutuhan, atau tidak demikian? Adapun perkataan Imam Bukhari "Bab Jual-Beli Sistem Salam dengan Menggunakan Takaran yang Diketahui", yakni pada barang yang biasa ditakar.

Disyaratkannya menentukan takaran yang digunakan pada barang yang dijual dengan sistem salam – apabila barang itu adalah sesuatu yang dijual dengan meng gu nakan ukuran takaran, merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama, karena adanya perbedaan volume taka ran, kecuali apabila di negeri itu hanya ada satu takaran standar.

Maka, jika disebutkan kata "takaran" secara mutlak (tanpa batasan), dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah takaran standar tersebut. Kemudian Imam Bukhari menyebut kan hadits Ibnu Abbas dari Nabi SAW, (Barang siapa melakukan jual-beli sistem salaf pada sesuatu). Hadits ini dinukil dari jalur Ibnu Aliyah. Lalu pada bab sesudah nya, disebutkan melalui jalur Ibnu Uyai nah, keduanya dari Ibnu Abi Najih, bahkan disebutkan melalui jalur lain dari Ibnu Abi Najih.

Jalur-jalur periwayatan tersebut me nyatu pada Abdullah bin Katsir, dimana sta tus dirinya masih diperselisihkan Al Qabisi, Abdul Ghina dan Al Mizzi menga takan bahwa dia adalah Al Makki, Al Qari yang masyhur. Sementara Al Kulabadri, Ibnu Thahir dan Ad-Dimiyati menyatakan bah wa dia adalah Ibnu Katsir bin Al Mu thalib bin Abu Wad'ah As-Sahmi. Namun keduanya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya). Pendapat pertama lebih tepat, sebab merupakan konsekuensi dari sikap Imam Bukhari.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement