Sabtu 01 Apr 2017 16:00 WIB

Keikhlasan Sebagai Spirit dalam Beramal

Rep: ahmad islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Kotak amal (ilustrasi)
Kotak amal (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibadah pada hakikatnya adalah wujud dari pengabdian manusia kepada Sang Khalik. Akan tetapi, dalam praktiknya, pengabdian tersebut kadang kala juga terkontaminasi oleh salah satu jenis syirik khafi (tersembunyi), yaitu riya. Padahal, sikap semacam itu dapat menggugurkan nilai amal ibadah yang diperbuat manusia. Masalah riya inilah yang dibahas oleh Kiai Asnawi Muallim Misan dalam acara kajian tasawuf Jamaah Toldemiyah, Jumat (24/3) lalu.

Pada kesempatan tersebut, ia mejelaskan secara terperinci berbagai bentuk penyakit riya yang mungkin pernah dialami oleh para ahli ibadah di dalam kehidupan mereka. Sambil mengutip Kitab Minahussaniyyah karya ulama sufi asal Mesir, Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani, Asnawi mengungkapkan, sedikitnya ada tujuh perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai riya. Yang pertama adalah mengejar rasa nikmat dalam beribadah.

Dalam kamus tasawuf, perilaku semacam ini dikenal dengan 'istihla-u al-amal' atau mencari rasa manis dalam beramal. "Orang yang melakukan ibadah dengan motivasi ingin mendapatkan kompensasi berupa rasa nikmat, bisa diidentifikasikan sebagai riya. Mengapa? Karena, ibadah itu semestinya dilakukan semata-mata untuk mewujudkan ubudiyah atau penghambaan kita kepada Allah SWT, bukan untuk tujuan yang lain," ujar Asnawi. Yang kedua, adanya dua niat dalam satu amalan, yaitu niat karena Allah (lillaah) dan niat karena selain kepada Allah (lighairillaah), juga termasuk dalam kategori riya.

Sebagai contoh, Asnawi mengatakan, seseorang melakukan silaturahim ke rumah kerabatnya karena Allah, tapi pada saat yang sama dia juga mengharapkan si tuan rumah bakal menyuguhkan makanan enak untuknya. "Pada kasus seperti ini, jika motivasi lillaah orang itu lebih besar daripada motivasi lighairillaah, dia selamat. Tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, yakni motivasi lillaah-nya lebih kecil dari motivasi lighairillaah, dia telah berbuat syirik," ucapnya. Selanjutnya, riya juga muncul dalam wujud ibadah yang didasari atas keinginan untuk mencari kedekatan dengan Allah.

Dalam perspektif ruhani, Asnawi mengatakan, ambisi semacam ini dapat merusak nilai ibadah. Sebab, 'kedekatan dengan Allah' itu pada dasarnya adalah makhluk. Dengan kata lain, orang yang mengejar kedekatan kepada Tuhannya saat melakukan ibadah, secara tidak langsung dia sebenarnya sedang mengharapkan kehadiran makhluk, bukan ridha Allah SWT. "Kedekatan itu bukanlah tujuan kita melaksanakan ibadah," ujarnya.

Yang keempat, riya pun memperlihatkan wujudnya ketika seseorang mengklaim derajat kehormatan tertentu di sisi Allah. Seperti contoh, menyebut-nyebut diri sebagai kiai, alim, ahli ibadah, haji, dan sebagainya. Berikutnya, riya juga tampak di saat seseorang suka menebar atau menceritakan perbuatan baik kepada orang lain. Yang lebih parah, dia merasa senang ketika ibadahnya dipuji atau menjadi perhatian orang lain. Yang terakhir, tidak mengerjakan suatu amalan karena manusia juga dikategorikan sebagai perilaku riya. Sebaliknya, jika melaksanakan suatu amalan karena manusia, justru termasuk syirik. Misalnya, Asnawi mengatakan, seseorang tidak mau shalat di masjid karena tidak ingin disebut alim.

Sementara, jika dia tidak shalat di masjid, dia khawatir bakal dicap kurang bergaul atau antisosial. Untuk menghindari semua bentuk penyakit riya tersebut di atas, setiap individu Muslim dituntut melatih diri menjadi orang yang ikhlas. Karena salah satu syarat diterimanya ibadah seseorang oleh Allah SWT adalah ikhlas. "Tanpa keikhlasan, amal yang kita lakukan bakal menjadi sia-sia belaka. Jika dibuatkan analoginya, amal itu ibarat jasad, sedangkan ikhlas adalah ruhnya," kata Asnawi.

Koordinator Jamaah Toldemiyah Didi Rosidi menuturkan, kajian tasawuf bersama Kiai Asnawi Muallim Misan rutin digelar komunitasnya setiap dua pekan sekali di Jalan Brawijaya IX No 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sesuai namanya, sebagian besar peserta yang mengikuti kuliah ruhani di tempat itu mengenakan sarung tenun toldem khas Tegal sebagai ciri khas mereka. "Dari kebiasaan itulah kemudian muncul gagasan untuk menamai komunitas ini 'Jamaah Toldemiyah' yang berarti 'para penikmat sarung toldem'. Tapi, bukan berarti setiap anggota yang terlibat kajian taswuf di sini wajib memakai sarung. Mereka boleh-boleh saja mengenakan celana panjang," kata Didi menjelaskan.

Dia mengatakan, kajian tasawuf bersama Kiai Asnawi sampai saat ini sudah berlangsung sebanyak 15 kali. Tema-tema yang diangkat di dalam setiap pertemuan umumnya berkaitan dengan praktik taswuf untuk masyarakat perkotaan—atau dalam istilah yang lebih populer disebut 'Urban Sufism'. Kegiatan diskusi biasanya diawali dengan zikir bersama dari pukul 19.00 hingga 20.00 WIB.

Tidak seperti majelis taklim pada umumnya yang memusatkan perhatian seluruh audiens kepada satu narasumber, kajian taswuf Jamaah Toldemiyah dilakukan secara interaktif di sekeliling meja bundar. Dengan begitu, para peserta kajian dapat saling bertatap muka langsung dengan anggota-anggota lainnya. Mayoritas peserta kajian tasawuf Jamaah Toldemiyah adalah laki-laki. "Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi. Ada yang bekerja sebagai konsultan, pengusaha, politikus, hingga purnawirawan jenderal," kata Didi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement