Rabu 22 Mar 2017 22:42 WIB

Melawan Nalar Bahwa Teroris Pasti Muslim

Rep: Fuji EP/ Red: Joko Sadewo
Terorisme (ilustrasi)
Foto: Mardiah
Terorisme (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Ma'mun Murod Al-Barbasy mengatakan sebelumnya publik selalu mengamini setiap nalar yang dibangun negara terkait dengan terorisme. Namun, akhir-akhir ini mulai muncul perspektif yang berubah dan mencoba menggugat nalar tersebut.

"Gugatan publik sangat rasional," kata Dr. Ma'mun saat Diskusi Publik tentang Deradikalisasi Paham Keagamaan di Indonesia yang diselenggarakan Himapol FISIF UMJ, Rabu (22/3).

Ia menerangkan, pertama, anggaran pemberantasan teroris termasuk cukup besar. Tahun 2014 anggarannya sebesar 44 triliun. Pada APBN-P 2016, Densus 88 mendapat tambahan dana 1,9 triliun. Kedua, terlalu seringnya kepolisian melanggar hak asasi manusia (HAM) mereka yang diduga teroris.

Polisi main tembak dan bunuh tanpa melalui proses pengadilan, hal ini seakan menjadi kelaziman dalam penanganan kasus atas terduga teroris. "Dari data yang sempat beredar di media, sedikitnya ada 121 terduga teroris tewas tanpa lewat proses hukum," ujarnya.

Dikatakan dia, yang ketiga, hampir setiap kasus bom teroris menyisakan kejanggalan-kejanggalan yang selalu berulang. Sehingga mengundang kritik dan memunculkan tanda tanya publik terhadap kejanggalan-kejanggalan tersebut. Misalnya, terlalu sering ditemukan kartu identitas (KTP atau paspor) pada orang yang diduga teroris.

"Anehnya, selalu saja pada KTP atau paspor tersebut tertulis beragama Islam. Seolah ingin membangun nalar bahwa teroris pasti Muslim," jelasnya.

Menurutnya, modus ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga terjadi dalam pemberantasan terorisme global. Saat terjadi bom Paris misalnya, ditemukan paspor yang masih dalam kondisi utuh, tanpa rusak sedikit pun.

Padahal, dikatakan Dr. Ma'mun semua benda di sekelilingnya hancur dan hangus berantakan. Secara nalar, rasanya tidak mungkin ada teroris jihadis yang mau identitasnya diketahui. Dalam kasus bom ricecooker juga ditemukan KTP yang membuat kasusnya janggal.

"Janggalnya, dalam KTP tersebut terlihat foto pelaku perempuan tidak mengenakan jilbab. Kalau pelakunya teroris jihadis, rasanya tak mungkin mau membiarkan auratnya terbuka meski hanya di KTP," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement