Selasa 21 Mar 2017 14:20 WIB

Propaganda dalam Film Beauty and The Beast Itu Sah-Sah Saja

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Agus Yulianto
Salman Aristo
Foto: istimewa
Salman Aristo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Penulis film Salman Aristo berstatement, adegan yang menunjukkan kekaguman dan ketertarikan tokoh Le Fou (diperankan Josh Gad) kepada Gaston (Luke Evans) pada film Beauty and the Beast, tidak menjadi masalah. Walaupun, sebelum film ini resmi rilis, Bill Condon mengakui adegan tersebut sebagai propaganda gay.

“Boleh-boleh aja, mau mempropagandakan apapun. Hanya dengan memahami pilihan orang lain, maka kita bisa dihargai juga,” ujar Salman saat dihubungi Republika.co.id Selasa (21/3) siang.

Salman menjelaskan, bagi seorang pembuat film sepertinya, bahwa film itu memang menjadi alat propaganda tersendiri bagi para movie maker. Film itu, kata dia, nantinya akan dibuat adegan-adengan atau scene yang dikemas dengan semenarik mungkin yang bisa membantu pesan pada film sampai ke penonton.

“Semuanya formula dan ukurannya. Ada yang namanya framis. Dan setiap karakter ada tujuan-tujuan yang dikonstrak sedemikian rupa,” ujar Salman.

 

Film Beauty and the Beast juga menuai kontra di bebebapa negara, seperti Malaysia, Rusia, dan India. Hal tersebut terjadi karena adanya statement Sutradara Bill Condon dan Disney tentang propaganda gay.

Lembaga Sensor Film yang mengklasifikasikan film Beauty and the Beast untuk 13 tahun ke atas, kata Salman, sudah menjadi pilihan tepat. “Saya tidak setuju saja dengan sensor yang nge-cut film. Karena bagi saya, film itu sifatnya story argument,” ujar Salman.

Menurut Salman, story argument itu artinya, siapa pun berhak beragumen. Berhak mengungkapkan apa pun. Dan kita sebagai konsumen atau apresiator yang harus mencoba filter/ saring. “Nah, kalau misal saya bawa anak, terus dia nanya kenapa kok di film itu ada adegan begini, ya tugas saya untuk jelaskan,” kata Salman.

Sebelumnya sejumlah tokoh agama Islam mengritisi film tersebut. Ustaz Erick Yusuf misalnya yang mengutarakan kekecewaanya pada LSF yang telah meloloskan film Beauty and the Beast dari sensor. ”Saya kira jelas harus menjaga agar propaganda ini tidak menyebar. Hindari apa yang bisa memengaruhi perilaku LGBT,” katanya, saat dihubungi Republika.co.id, Senin (20/3) sore.

Ketua Komisi Seni dan Budaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habbiburrahman El-Shirazi atau biasa disapa Kang Abik, juga menguratakan hal yang sama. Menurut Kang Abik, film yang dinilai memiliki nilai menyimpang lebih baik disensor. “Semestinya pas adegan itu disensor," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement