Selasa 21 Mar 2017 13:53 WIB

Profesor Asal Libya Adakan Diskusi tentang Wanita Muslim

Rep: Marniati/ Red: Agus Yulianto
Muslimah di South Jersey tengah mengikuti kajian keagamaan di Islamic Center South Jersey, Amerika Serikat (Ilustrasi)
Foto: photosbymarcin.blogspot.com
Muslimah di South Jersey tengah mengikuti kajian keagamaan di Islamic Center South Jersey, Amerika Serikat (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KALIFORNIA -- Lebih dar 50 mahasiswa berkumpul di College of the Canyons Kalifornia untuk berdiskusi tentang perempuan dalam budaya Muslim. Diskusi ini dipimpin oleh seorang profesor kelahiran Libya, Dr Lalia Dahn.

Mantan profesor di Universitas Amerika ini berbagi pengalamannya sebagai seorang wanita baik di dunia Muslim maupun di Amerika. "Ketika kebanyakan orang berpikir tentang Muslim, mereka memikirkan ekstrem. Ada lebih dari 1,6 miliar Muslim di dunia dan tidak semuanya buruk,” ujar Dahn seperti dilansir hometownstation.com (15/3).

Dr Dahn lahir di Libya. Ayahnya Libya, dan ibunya adalah seorang Kristen dari Atlanta, Georgia. Ibunya memutuskan untuk pindah ke Libya saat berusia 50 tahun. Di Libya, ibunya tidak pernah mengalami diskriminasi karena dia adalah seorang Amerika. Dunia Arab sangat toleran dan ingin belajar tentang budaya lain.

Dahn menjelaskan, sebagian besar siswa di dunia Arab ingin datang ke Amerika. Mereka tertarik dengan film dan musik Amerika. Ia ingin membuktikan banyak kesalahpahaman yang timbul dari beberapa orang  tentang bagaimana wanita diperlakukan dalam budaya Muslim. Salah satunya terkait pendidikan.

Menurut dia, mencegah perempuan untuk memperoleh pendidikan merupakan hal yang bertentangan dengan Islam. Alquran menyebutkan bahwa perempuan harus dididik.

"Ada lebih dari 9.000 ulama Islam perempuan sepanjang sejarah kami. Saya berharap suatu hari nanti banyak orang berbicara tentang wanita-wanita,” katanya.

Dhan menambahkan, diskusi kali ini menunjukkan kepada mahasiswa bahwa perbedaan tidak harus menimbulkan ketakutan. Dalam dunia sekarang ini ada terlalu banyak kekhawatiran dan ketidakpercayaan tentang orang lain. Untuk itu, diperlukan komunikasi maupun diskusi agar dapat menemukan persamaan dan tidak fokus pada perbedaan.

Kegiatan diskusi ini merupakan inisiatif baru perguruan tinggi untuk membawa kesadaran budaya lain dan membuat siswa berpikiran global. "Kampus ini tidak seperti yang lain. Kami sedang melakukan hal-hal yang tidak dilakukan  perguruan lain di  negara ini,” ujar Direktur International Services and Programs (ISP), Dr Chang-Levine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement