Jumat 17 Mar 2017 22:23 WIB
Belajar Kitab

Idhotun Nasyi'in Beri Motivasi Pemuda

Santri
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Santri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara resmi, kitab Idhotun Nasyi'in tidak termasuk bacaan wajib yang tercantum dalam silabus atau kurikulum pesantren. Namun, kitab tersebut menjadi bacaan favorit para santri yang sudah menguasai bahasa Arab.

Bersama kitab-kitab lain, seperti 'Usfhuriyah' (al-Mawa'iz al-Ushfuriyah) karya Syekh Muhammad Abu Bakar, kitab ini dikategorikan sebagai "lektur" pesantren atau bahan rujukan penambah pengetahuan.

Daya tarik kitab tersebut terdapat pada isinya yang mengandung motivasi bagi para pemuda untuk memiliki akhlak mulia, etos kerja tinggi, dan siap berjuang di segala bidang kehidupan. Maka, selain berisi paparan panjang lebar yang bersumber dari Alquran dan sunah Rasulullah SAW, terdapat pula kutipan-kutipan puisi dan pepatah Arab.

Para santri sering mengutip kembali puisi dan pepatah itu. Biasanya, pepatah itu dituliskan kembali dalam bentuk kaligrafi, lalu ditempelkan di dinding-dinding ruang pondok. Sebagai tanbih dan tazkirah (peringatan, perhatian) yang dapat terbaca setiap saat.

 Menurut beberapa keterangan, tulisan-tulisan yang termuat dalam Idhotun  Nasyi'in semula merupakan tulisan-tulisan lepas pengisi rubrik tetap Idhotun Nasyi'in (Nasihat untuk Kaum Remaja) pada surat kabar Almufid Beirut dan tercantum nama penulisnya, Abu Fayyadl. Karena mendapat sambutan hangat dari para pembaca surat kabar tersebut, kitab tersebut dijadikan buku yang mengalami cetak ulang berkali-kali.

 Karena tulisan-tulisan dalam Idhotun Nasyi'in ditujukan kepada kaum pemuda; Syekh Musthofa al-Ghulayani, pengarang kitab ini, membuka beberapa tulisannya dengan seruan Ya Fityan atau Ya Syubban (Wahai, Para Pemuda).

 Secara perinci, beliau mengupas berbagai permasalahan yang menjadi problem umum para pemuda dan cara mengatasinya, seperti putus asa, kesal, kehilangan pedoman, merasa tersingkir dari pergaulan, dan sebagainya. Sebuah kata mutiara mengenai keharusan para pemuda bersikap tegar menghadapi cobaan sangat dikenal di kalangan para santri tahun 1950-an. Kutipannya sebagai berikut.

Aqbil ala naumizzaman

Wa in aba-u qalbuj jarih

Wa inna li kulli syai'in akhir.

(Hadapi segala tantangan zaman

Dengan semangat tegar

Sesungguhnya segala sesuatu akan berakhir).

Para pemuda tidak perlu berkeluh kesah menghadapi segala kesulitan, baik internal maupun eksternal. Diperlukan keteguhan hati dalam mengatasinya serta berkeyakinan bahwa segala sesuatu akan berubah dan berakhir.

Musthofa al-Ghulayani hidup tatkala Lebanon masih merupakan bagian Syria Raya yang berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (1330-1924). Namun, pada Perang Dunia I (1914-1918), daerah ini diduduki oleh pihak lain. Kemudian, pada Mei 1926, berdiri Republik Lebanon, pecahan Syria Raya. Pada Mei 1930, berdiri pula Republik Syria. Kolonialis Prancis sengaja memecah belah wilayah itu agar lebih mudah menguasainya.

Penulis: Girsang Slamet Hizbul Wathon

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement