Senin 13 Mar 2017 09:38 WIB

‘Dunia Berebut Kaji Jejak Ulama Palembang ini, Sementara Kita?’

Petugas melakukan pememeriksaan rutin naskah kuno Islam koleksi Museum Sribaduga Bandung, Jawa Barat, Selasa (23/6).
Foto: Antara/Agus Bebeng
Petugas melakukan pememeriksaan rutin naskah kuno Islam koleksi Museum Sribaduga Bandung, Jawa Barat, Selasa (23/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pergerakan ulama Nusantara selama berada di dua tanah suci, Makkah dan Madinah (haramain), dan sejumlah kawasan di Timur Tengah pada abad ke-18 dan ke-19 seperti Mesir, menarik minat para peneliti mancanegara. 

Di antara tokoh yang banyak mendapat perhatian mereka, ungkap Direktur Islam Nusantara Center, Ahmad Ginanjar Sya'ban, yaitu Syekh Abdul Shamad al-Falimbangi (Palembang).  

Ginanjar menyebutkan riwayat, karya dan sanad keilmuannya dikaji dan berpengaruh di Timur Tengah dan Barat. Karena mereka mempunyai tempat  merawat manuskrip-manuskrip tentang Syekh Abdul Shamad serta banyak ulama Nusantara lain.

Banyak sumber kitab Timur tengah dan Nusantara yang memuat biografi Syekh Abdul Shamad Palembang. 

Salah satunya adalah kitab “al-Nafas al-Yamani” karangan Mufti Yaman, Syekh Abdul Rahman ibn Sulaiman al-Ahdal al-Zabidi, yang terawat dengan baik.

Di Nusantara ada Kitab "Al Faidh al-Ihsani" koleksi KH Dr Kemas Andi Syarifuddin Palembang, salah satu dzurriyah atau keturunannya. 

“Sebuah kitab yang secara detail memuat biografi Syekh Abdul Shamad Palembang,” tutur Ginanjar yang merupakan jebolan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir ini dalam diskusi bertajuk  "Syekh Abdul Shamad Palembang, Poros Jaringan Ulama Nusantara-Haramain Abad ke-18", akhir pekan lalu di Islam Nusantara Center, Jakarta. 

Lebih lanjut, Ginanjar menambahkan lalu bagaimana merawat dan mengembangkan warisan intelektual tersebut? Dia menyarankan manuskrip-manuskrip Nusantara perlu didokumentasikan kembali berupa digitalisasi atau bentuk lainnya. 

"Manuskrip-manuskrip Nusantara perlu di digitalkan agar bisa menjadi ladang penelitian khazanah keilmuan Nusantara dan lahir peneliti-peneliti baru", katanya.

Menurut di, Indonesia harus membangun pusat kajian Turats, lengkap dengan alat dan para ahlinya. "Kita ingin berambisi Indonesia menjadi pusat penelitian. Inilah perlunya digitalisasi" papar dia.

Karena, lanjut Ginanjar, Belanda, London sudah punya pusat kajian Turats ini. Misalnya, manuskrip dari kitab "Syaidussalikin ila ibadati Rabbil alamin" karya Syekh Abdul Shamad yang merupakan terjemahan melayu dari Kitab "Ihya Ulumhddin" Imam Ghazali malah menjadi Koleksi digital British Library di London.

Ginanjar mengatakan "Akhirnya yang menjadi kiblat adalah Barat, misalkan orang mau mengkaji Syekh Abdul Shamad Palembang, kemana? London. Nah kita ingin ubah peta itu. Orang yang mau mengkaji Abdul Shamad ya di sini, di Nusantara."

Tidak hanya itu, yang lebih menyedihkan dan harus diakui, Malaysia sudah punya Museum Manuskrip Nasional dan para ahlinya. Salinan Kitab "Syaidussalikin" tersebut juga berada di sini beserta banyak karya-karya Ulama Nusantara lainnya.

"Malaysia berani mentasbihkan dirinya, jika orang mau mengkaji Asia Tenggara datang ke tempat kami, di sana ada manuskrip dari Indonesia, Jawa, Sumatera, dari Patani. Dirawat dengan baik,” kata dia. 

Dia berkeinginan peta itu bergeser ke Indonesia . Orang yang meneliti tentang kitab pegon atau karya Pesantren bisa ke sini bukan ke Leiden atau ke Kuala Lumpur.  

“Dunia berebut mengkaji warisan intelektual Syekh Abdul Shamad, sementara kita?” kata dia memotivasi. 

Ginanjar meneyebutkan banyak kiai kampung yang masih rajin mengarang kitab. Ini perlu ditulis ulang. "Seperti abahnya Gus Milal (Milal Bizawie) ini, aktif mengarang kita berbahasa Arab. Ini bisa ditahqiq, dan informasikan teman-teman yang belajar di Kairo misalnya. Agar bisa ditahqiq, dijadikan disertasi, diujikan di sana, jika bagus biasanya direkomendasiakan untuk dicetak." ujarnya.

Oleh karena itu pembekalan ilmu filologi bagi santri penting. Dengan penguasaan tersebut, kita bisa kembali mengekspansi Timur Tengah dengan karya-karya Ulama Nusantara.

Penulis Buku “Master Piece Islam Nusantara, Gus Milal Bizawie memberi latar belakang sejarah Syekh Abdul Shamad Palembang sebagai Poros menyebarkan jaringan antara ulama-ulama Nusantara dan Haramain. 

"Melihat pemaparan tersebut, pada Abad ke-18 para ulama sudah berjejaring di Timur Tengah dan Eropa," tutur dia. 

Meskipun tidak berkiprah di Nusantara, kata dia, Syekh Syekh Abdul Shamad rajin memberikan nasehat kepada ulama atau pejuang Nusantara. 

“Ada banyak data atau surat-surat beliau memberikan semangat kepada kasultanan di daerah Jawa,”  kata Inisiator Islam Nusantara Center ini.

Untuk perkembangan kajian Turats, Gus Milal menyebutkan bahwa teman-teman di daerah sudah mulai menggerakkan sejarahnya, menggerakkan karya-karya khazanahnya dan membuat forum-forum kajian seperti ini. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement