Selasa 28 Feb 2017 04:20 WIB
Belajar Kitab

7 Ringkasan Kaidah Fikih dari Mazhab Syafii

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Kitab Kuning
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Kitab Kuning

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair, karya Jalaluddin As-Suyuthi membagi kitabnya dalam tujuh bab, tidak termasuk pendahuluan. Tiap-tiap bab mempunyai cakupan bahasan yang luas dan terdiri atas banyak sub-sub bahasan.

Seandainya dilakukan penelitian lebih dalam dan detail, niscaya satu dari sekian bab yang ada bisa dijadikan judul buku tersendiri. Di sinilah letak keahlian imam As-Suyuthi, mahir membuat ringkasan dari sekumpulan kitab tanpa harus mengurangi esensi dan kualitas.

Pada bab pertama, As-Suyuthi mengulas tentang lima kaidah fikih dasar yang dianggap ulama sebagai rujukan pelbagai persoalan fikih. As-Suyuthi menyebutkan, dalam Mazhab Syafii, lima kaidah dasar tersebut adalah hasil perampingan dari 17 kaidah yang pernah digagas Ad-Dabbas dalam Mazhab Hanafi.

Kelima kaidah tersebut, yaitu: perbuatan tergantung niatnya (al-umuru bi maqaashidiha), yakin tidak bisa dikalahkan keraguan-raguan (al-yaqin la yuzalu bi asy-syak), kesulitan mendatangkan keringanan (al-masyaqqatu tajlib at-taisir), menghilangkan bahaya (ad-dharar yuzal) dan tradisi adalah sumber hukum (al-adatu muhakkamah).

Kaidah tentang 'perkara tergantung niat' merupakan kaidah yang sangat prinsipil dalam hukum Islam. Dasar kaidah ini adalah hadis nabi, innama al-a'malu bi an-niyyat. Dianggap penting lantaran tiap tindakan Muslim dibangun atas dasar niat.

Niatlah yang membedakan amalan satu sama lain. Misalnya shalat wajib dan sunah ataupun zakat dan sedekah. Lebih jauh lagi, As-Suyuthi menyebutkan, niat merupakan penentu diterima atau tidak amalan seseorang. Menukil kesepakatan Syafii, Ahmad bin Hanbal, Ibn Mahdi, dan ulama lainnya, niat disebut-sebut sebagai sepertiga ilmu.

Sementara bab kedua, membahas tentang 40 kaidah-kaidah umum yang menghasilkan gambaran tentang hukum atas kasus-kasus yang parsial. Misalnya, kaidah yang menyatakan, ijtihad pertama tidak akan batal dengan keberadaan ijtihad yang kedua (al-ijtihad la yanqudlu bi al-ijtihad).

Menurut Ibn As-Shabagh, landasan kaidah ini adalah konsensus para sahabat. Putusan hukum yang pernah dibuat oleh Abu Bakar, misalnya, tidak serta-merta mengubah hukum yang pernah dibuat Umar bin Khattab. Alasannya, ijtihad yang kedua tidak lebih kuat dari ijtihad yang pertama.

Inkonsistensi produk hukum akan berakibat pada ketidakstabilan dan menyebabkan kesulitan yang akut. Contoh kasus, berdasarkan kaidah al-ijtihad la yanqudlu bi al-ijtihad, jika ada orang fasik membatalkan kesaksiannya lalu bertobat dan ingin kembali bersaksi, kesaksiannya akan tetap ditolak sekalipun telah bertobat.

Bab ketiga, membahas tentang kaidah-kaidah yang diperselisihkan dan tidak bisa ditarjih secara mutlak karena adanya perbedaan pandangan terkait furu' (cabang) masalah.

Menyikapi kasus seperti ini, proses tarjih harus memerhatikan dan mempertimbangkan detail furu' yang ada. Tujuannya, agar sikap generalisasi bisa dihindari. Misalnya, kaidah tentang hukum shalat dibelakang imam yang tidak diketahui apakah dia benar-benar suci dan tidak berhadas.

As-Suyuthi menyebutkan, perbedaan furu'-nya, di antaranya keabsahan shalat Jumat saat berada pada kondisi seperti di atas, sah atau tidakkah keutamaan berjamaah, dan perbedaan tentang makmum yang masbuk.

Keempat, penjelasan mengenai hukum-hukum yang sering beredar di masyarakat dan penting diketahui oleh ahli fikih dan siapa pun yang hendak memberikan fatwa. Seperti hukum aktivitas, baik yang berkenaan dengan transaksi maupun ibadah yang dilakukan oleh orang yang lupa (nasi), bodoh (jahil), dipaksa (mukrah), dan mabuk (sakran). Perihal mabuk, sebagaimana yang ditulis As-Suyuthi, ulama berselisih pandang. Ada dua pendapat yang berbeda, tetapi yang paling kuat menurut Syafii, yaitu orang mabuk tetap dihukumi mukalaf.

Kelima, standar umum yang berlaku dalam bab fikih. Dalam bab ini, As-Suyuthi menjelaskan secara singkat standar yang digunakan dalam persoalan fikih. Terkait standar dan acuan umum bersuci, wudu, tayamum, mandi junub, kriteria air, shalat, azan, persoalan kiblat, dan zakat.

Bab keenam, perbedaan antara dua istilah yang terkesan sama, padahal mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Menukil Bulqini dalam Kitab At-Tadrib, As-Suyuthi menyebutkan sejumlah konsekuensi hukum yang membedakan tayamum dan wudu, di antaranya anggota yang diusap ketika tayamum hanya wajah dan kedua tangan, tidak wajib mengusap rambut, berlaku untuk satu shalat wajib, tidak boleh dilakukan sebelum waktu shalat datang, dan tayamum diperbolehkan hanya saat kondisi terpaksa atau karena uzur tertentu.

Bab ketujuh, mengulas tentang perbandingan kasus yang terjadi dalam masalah ushuliyah karena adanya kesamaan konteks dengan persoalan yang terjadi dalam fikih ataupun bahasa.

Misalnya, perselisihan mengenai keberadaan dan fungsi nasakh. Apakah nasakh berarti mengangkat dan membatalkan hukum sama sekali atau justru memperkuat dan menjelaskan konteks hukum yang pertama.

Bandingannya dalam kasus fikih, yaitu hukum bersuci setelah berhadas. Apa status bersuci yang pertama sebelum berhadas dan bersuci untuk kedua kalinya. As-Suyuthi menyebutkan, menurut Ibn Al-Qash dalam Kitab At-Talkhis, status bersuci yang pertama dianggap batal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement