Rabu 15 Feb 2017 08:06 WIB

Memilih yang Baik Bukan yang Jahat

Petugas Sipir dan Warga Binaan melakukan simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pilkada di Lapas Kelas 1 CIpinang, Jakarta, Kamis (9/2).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Petugas Sipir dan Warga Binaan melakukan simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pilkada di Lapas Kelas 1 CIpinang, Jakarta, Kamis (9/2).

Oleh Erie Sudeweo, Pendiri Institut Harkat Negeri (IHN)

 

Semalam anak saya, Oza, menelpon. Ada dua hal yang dia utarakan. Ke-1 dia ditawari tanah. Karena akan dibangun jalan baru, dia diiming-imingi untung berkali lipat. Jadi spekulan lah.

Anak saya tanya: “Etis gak?” Saya bersyukur. Meski tak sering jumpa, ternyata masih waras pikiran anak lelaki saya satu-satunya.

Saya kembalikan padanya: “Nurani kamu siap bisnis kayak gitu? Yang untung mustinya pemilik tanah. Bukan kamu atau spekulan”. Dia paham maksud saya. Tata tanah negeri ini rusak karena ulah spekulan.

Bahasan ke-2 soal pilgub Jakarta. Dalam soal pilihan begini, saya biasakan dialog dengan keluarga. Selalu saya ingatkan pada anak-anak, pilih pemimpin bukan seperti pilih makanan. Yang makanan tak enak langsung bisa ganti.

Pilih pemimpin A atau B musti punya argumen. Tak memilih juga harus ada alasan. Sedang andai ikut-ikutan pun silakan kemukakan sebab.

Soal latar boleh berbeda. Namanya di kota apalagi sepadat Jakarta. Yang tak boleh diabaikan, sosoknya baik atau buruk. Tak berarti orang berkulit hitam otomatis jahat. Di komunitas manapun, di partai apapun, ada orang baik dan ada orang jahat. Soal sekarang adalah orang jahat ingin permanen mandulkan orang baik.

Orang baik itu sportif. Karena selalu koreksi diri, mustahil orang baik curang. Apalagi halalkan cara. Kritik diterima, lebih-lebih masukan konstruktif. Orang baik yang pandai biasanya juga “pandai merasakan”.

Jika didakwa pun dia tahu diri. Aneh orang baik jadi terdakwa. Bisa karena fitnah misalnya. Untuk itu segera dia perbaiki diri. Bukan tetap merangsek ke depan paksa diri. Cari cara pembenaran dan menghasut sana sini.

Orang jahat sebaliknya. Tak pernah mau koreksi diri. Sangking yakinnya, kekeliruan itu ada di orang lain. Dari luar kelompok, masukan ditolak. Apalagi kritik. Jika tak dibungkam, pasti pengkritik di-bully tim-nya.

Karena “merasa pandai”, didakwa tak terima. Dengan kepandaiannya dia sudah atur rencana. Dakwaan itu akan matikan apa yang sudah dirancang jauh-jauh hari. Tentu dia kerahkan sumber daya menolak dakwaan. Caranya, apa yang sudah diinvestasikan musti jadi mesin penolak bala.

Untuk tampil pamerkan diri, orang baik merasa “terpanggang”. Fitrahnya tak izinkan untuk berbanggaan dibalut prestasi. Dia sadar, itu semua bisa “lebih indah dari warna aselinya”. Kesombongan dimanapun menjerumuskan. Sebab orang baik yakin, kelak ada pembalasan.

Sebaliknya orang jahat tak sungkan tampil. Jabatan itu tujuan. Untuk penuhi ambisi dan hasrat yang terus berkobar-kobar. Agar kampanyenya memikat, buruknya musti dipoles. Banyak kepentingan saling membantu, untuk jabatan yang satu itu.

Bagi orang jahat, kesombongan bukanlah sombong. Tak sesuai perilaku, ya hidup ini cuma sekali. Jika tak sekarang, bagi orang jahat kapan lagi bisa raih kehendak. Soal hari nanti, aaah tak terpikir sama sekali. Hari-hari sudah terlampau sibuk untuk urusi banyak hal.

Baik dan jahat itu tak mutlak tercermin dari perilaku. Orang kasar, tak berarti perangainya buruk. Orang santun tak otomatis baik. Tetapi mulut yang sering memaki dan menghina, itu cermin hati yang jahat. Hati yang selalu panas dan gemar menyakiti, jelas perilakunya jahat. Secanggih apapun dia kemas diri agar tampil baik, orang jahat tetap saja tampak jahatnya.

Orang baik jika tampil pasti karena dipaksa kondisi darurat. Dia mau bersaing bukan merebut jabatan. Tetapi ingin membangun masyarakat yang adil dan beradab. Menata harmoni masyarakat. Semangatnya orang baik, pasti untuk kebaikan seluruh warga.

Kota memang harus ditata. Agar tampak cantik, indah, dan nyaman ditempati warga. Namun bagi orang baik, warga jadi pokok utama dihormati, dihargai, dan dimulyakan. Untuk apa kota cantik tapi penuh dendan kesumat di sebagian warganya.

Banyak developer tata real estatenya indah dan menarik. Tapi apakah pemilik developer punya atau telah perbaiki perilakunya sama cantiknya. Ada juga kepala daerah yang sudah tata daerahnya menawan. Hanya apakah kepala daerah ybs telah ubah perilakunya sama menawan dengan kotanya?

Dalam hati yang lapang, rumah sempit terasa lapang. Dalam hati warga yang sumpek akibat perilaku kepala daerahnya, kota seindah apapun terasa sumpek dan sempit.

Kini soalnya tinggal kita memilih dan berani memilah. Mana orang baik dan mana orang jahat. Ketika kita gelap mata memilih orang jahat karena pencitraan, maka kita telah “bekerja sama dalam maksiat”. Na'udzubillah mindzalik. Bismillah…

Semalam anak saya, Oza, menelpon. Ada dua hal yang dia utarakan. Pertama, dia ditawari tanah. Karena akan dibangun jalan baru, dia diiming-imingi untung berkali lipat. Jadi spekulanlah.

Anak saya tanya: “Etis gak?” Saya bersyukur. Meski tak sering jumpa, ternyata masih waras pikiran anak lelaki saya satu-satunya.

Saya kembalikan padanya: “Nurani kamu siap bisnis kayak gitu? Yang untung mustinya pemilik tanah. Bukan kamu atau spekulan”. Dia paham maksud saya. Tata tanah negeri ini rusak karena ulah spekulan.

Bahasan kedua, soal pilgub Jakarta. Dalam soal pilihan begini, saya biasakan dialog dengan keluarga. Selalu saya ingatkan pada anak-anak, pilih pemimpin bukan seperti pilih makanan. Yang makanan tak enak langsung bisa ganti.

Pilih pemimpin A atau B musti punya argumen. Tak memilih juga harus ada alasan. Sedang andai ikut-ikutan pun silakan kemukakan sebab.

Soal latar boleh berbeda. Namanya di kota apalagi sepadat Jakarta. Yang tak boleh diabaikan, sosoknya baik atau buruk. Tak berarti orang berkulit hitam otomatis jahat. Di komunitas manapun, di partai apapun, ada orang baik dan ada orang jahat. Soal sekarang adalah orang jahat ingin permanen mandulkan orang baik.

Orang baik itu sportif. Karena selalu koreksi diri, mustahil orang baik curang. Apalagi halalkan cara. Kritik diterima, lebih-lebih masukan konstruktif. Orang baik yang pandai biasanya juga “pandai merasakan”.

Jika didakwa pun dia tahu diri. Aneh orang baik jadi terdakwa. Bisa karena fitnah misalnya. Untuk itu segera dia perbaiki diri. Bukan tetap merangsek ke depan paksa diri. Cari cara pembenaran dan menghasut sana sini.

Orang jahat sebaliknya. Tak pernah mau koreksi diri. Sangking yakinnya, kekeliruan itu ada di orang lain. Dari luar kelompok, masukan ditolak. Apalagi kritik. Jika tak dibungkam, pasti pengkritik di-bully tim-nya.

Karena “merasa pandai”, didakwa tak terima. Dengan kepandaiannya dia sudah atur rencana. Dakwaan itu akan matikan apa yang sudah dirancang jauh-jauh hari. Tentu dia kerahkan sumber daya menolak dakwaan. Caranya, apa yang sudah diinvestasikan musti jadi mesin penolak bala.

Untuk tampil pamerkan diri, orang baik merasa “terpanggang”. Fitrahnya tak izinkan untuk berbanggaan dibalut prestasi. Dia sadar, itu semua bisa “lebih indah dari warna aslinya”. Kesombongan di mana pun menjerumuskan. Sebab orang baik yakin, kelak ada pembalasan.

Sebaliknya orang jahat tak sungkan tampil. Jabatan itu tujuan. Untuk penuhi ambisi dan hasrat yang terus berkobar-kobar. Agar kampanyenya memikat, buruknya musti dipoles. Banyak kepentingan saling membantu, untuk jabatan yang satu itu.

Bagi orang jahat, kesombongan bukanlah sombong. Tak sesuai perilaku, ya hidup ini cuma sekali. Jika tak sekarang, bagi orang jahat kapan lagi bisa raih kehendak. Soal hari nanti, aaah tak terpikir sama sekali. Hari-hari sudah terlampau sibuk untuk urusi banyak hal.

Baik dan jahat itu tak mutlak tercermin dari perilaku. Orang kasar, tak berarti perangainya buruk. Orang santun tak otomatis baik. Tetapi mulut yang sering memaki dan menghina, itu cermin hati yang jahat. Hati yang selalu panas dan gemar menyakiti, jelas perilakunya jahat. Secanggih apapun dia keas diri agar tampil baik, orang jahat tetap saja tampak jahatnya.

Orang baik jika tampil pasti karena dipaksa kondisi darurat. Dia mau bersaing bukan merebut jabatan. Tetapi ingin membangun masyarakat yang adil dan beradab. Menata harmoni masyarakat. Semangatnya orang baik, pasti untuk kebaikan seluruh warga.

Berbagai kota dan wilayah memang harus ditata. Agar tampak cantik, indah, dan nyaman ditempati warga. Namun bagi orang baik, warga jadi pokok utama dihormati, dihargai, dan dimulyakan. Untuk apa kota cantik tapi penuh dendan kesumat di sebagian warganya.

Banyak developer tata real estatenya indah dan menarik. Tapi apakah pemilik developer punya atau telah perbaiki perilakunya sama cantiknya. Ada juga kepala daerah yang sudah tata daerahnya menawan. Hanya apakah kepala daerah ybs telah ubah perilakunya sama menawan dengan kotanya?

Dalam hati yang lapang, rumah sempit terasa lapang. Dalam hati warga yang sumpek akibat perilaku kepala daerahnya, kota seindah apapun terasa sumpek dan sempit.

Kini soalnya tinggal kita memilih dan berani memilah. Mana orang baik dan mana orang jahat. Ketika kita gelap mata memilih orang jahat karena pencitraan, maka kita telah “bekerja sama dalam maksiat”. Na'udzubillah mindzalik. Bismillah…

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement