Jumat 10 Feb 2017 10:55 WIB

Sertifikasi Bertujuan untuk Bedakan Penceramah Berkualitas

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyampaikan khutbah (Ilustrasi)
Foto: mpr
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyampaikan khutbah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Samarinda, Kalimantan Timur, KH Zaini Naim menyatakan, wacana sertifikasi khatib yang digulirkan Kementerian Agama cukup penting untuk membedakan antara penceramah berkualitas dengan yang tidak. "Menurut saya, sertifikasi itu penting untuk melihat apakah khatib atau penceramah itu punya kualitas menyampaikan ceramah ke masyarakat," ujarnya, Jumat (10/2)

Namun, dia mengingatkan, agar sertifikasi harus dilakukan organisasi kemasyarakat muslim atau dalam hal ini MUI, bukan pemerintah. "Saya sangat tidak setuju jika sertifikasi dilakukan oleh pemerintah apalagi pihak keamanan, sebab itu tentu lain lagi ceritanya," ujar Zaini.

Dikatakan Zaini, ada tiga hal yang patut menjadi standardisasi dalam sertifikasi itu. Yakni, pemahaman agama, retorika, dan akhlak dari ustadz atau ulama.

Menurut Zaini, seorang penceramah harus memiliki pemahaman agama yang kuat menyangkut Alquran dan hadis. "Bagaimana mau ceramah agama kalau dia sendiri kurang paham agama. Pemahaman agama itu menyangkut Alquran dan Hadist. Jadi, seorang penceramah itu harus mengerti dan tidak asal menerjemahkan ayat-ayat suci Alquran, begitu pun harus tahu membedakan hadist palsu dan asli," ujarnya.

 

Kedua, seorang penceramah harus memiliki retorika yang baik, sehingga dalam menyampaikan materi ceramah tidak asal-asalan. Zaini berpendapat seorang penceramah harus bisa membedakan audiens atau dengan siapa serta kapan dan dimana ia menyampaikan ceramah, sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dan dicerna dengan baik.

"Mubaligh merupakan orang yang menyampaikan ajaran Islam. Jadi, sorang mubaligh perlu retorika tidak hanya sembarang bicara. Siapa audiensnya, apa yang mau dibicarakannya, kualitas bicaranya, kapan dan dimana ia menyampaikan itu, ada ilmunya dan tidak asal bicara saja. Saya melihat banyak ustadz bicara tidak pakai retorika, seenaknya saja dan bicara suka menyinggung orang berlebihan. Itu tidak diajarkan dalam Islam," jelas Zaini.

Ketiga, tambah Ketua MUI Samarinda, seorang penceramah harus memiliki akhlak yang baik, sehingga dakwah yang disampaikan bisa didengar dan diterima oleh umat. "Walau bagaimana pun pintarnya seorang penceramah, dia mengerti agama dan retorikanya bagus, tapi jika tidak menunjukkan akhlak yang baik, maka orang akan mencibir sehingga dakwah itu tidak akan sampai," katanya.

"Menurut saya, itulah tiga hal yang perlu disertifikasi kepada para penceramah dan yang harus melakukan adalah ulama sendiri, bukan pemerintah apalagi aparat keamanan," ujar Zaini.

Ia menambahkan, MUI Samarinda sudah melakukan program sertifikasi terhadap para mubaligh di daerah setempat sejak enam tahun lalu. Pihaknya sudah melakukan sertifikasi yang didasari keprihatinan melihat banyaknya penceramah yang tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas. "Asal berani bicara saja, sudah menjadi ustazd," ucapnya.

"Jika pada pendidikan umum, seorang dosen minimal harus berpendidikan S2 dan guru harus minimal S1. Itulah yang menjadi keprihatinan saya, sehingga melakukan sertifikasi terhadap para penceramah," paparnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement