Rabu 01 Feb 2017 04:33 WIB

Kebudayaan Kota Kolonial dan Pesan Hatta Soal Penghancuran Sejarah

Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.
Foto: Gahetna.nl
Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.

Oleh : Prof DR Abdul Hadi WM*

Di antara bapak bangsa yang karangan-karangannya sering saya baca sejak SMA dahulu adalah Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Muhamad Natsir dan Tan Malaka.

Dari semua itu yang paling sering saya baca ialah buku-buku dan pemikiran Muhammad Hatta. Alasannya karena bahasa dari karangan-karangan Hatta memang bagus dan enak dibaca. Ia tidak berapi-api seperti Sukarno.

Lagi pula jejak sejarah sosial ekonomi Indonesia lebih banyak dipaparkan oleh Hatta. Ia tahu banyak tentang kebudayaan Indonesia. Salah satu karangannya yang menarik bagi saya ialah pidatonya dalam Kongres Kebudayaan II di Bandung pada tahun 1951.

Di situ ia menyadarkan kita apa yang dilakukan kolonial terhadap kebudayaan Indonesia, yang kelak dijadikan dasar kebijakan pemerintah Indonesia sesudah berakhirnya Dwitunggal Sukarno Hatta.

Menurut Hatta, kota-kota di Indonesia yang dibangun kolonial dirancang sebagai pusat perdagangan barang kelontongan dan pusat pemerintahan kolonial. Kebudayaan tidak diberi tempat dengan sebaik-baiknya.

Maka, tidak heran apabila kota seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang lebih banyak dipenuhi toko dan warung makan (sekarang mall, supermarket, hotel mewah, dan lain-lain). Ada pun perpustakaan umum, pusat kegiatan seni, dan lain-lain hampir sulit ditemukan.

Sampai pertengahan abad ke-19 M jumlah penduduk pribumi di kota-kota besar itu tidak banyak. Pada masa kolonial penduduk pribumi tidak dianggap sebagai subyek pembangunan, melainkan obyek semata. Mereka juga lebih banyak bekerja di sektor non-formal dan kedudukannya rendah sekali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement