Senin 23 Jan 2017 19:30 WIB
Belajar Kitab

Arti Sebuah Mimpi

Mimpi biasanya tidak selalu baik, namun juga pertanda akan hal yang sebentar lagi terjadi. Ilustrasi
Foto: Huffingtonpost
Mimpi biasanya tidak selalu baik, namun juga pertanda akan hal yang sebentar lagi terjadi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --   Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Rasulullah pernah bersabda, “Mimpi yang baik dari orang saleh adalah bagian dari 46 unsur kenabian.” (HR Ibnu Majah). Mimpi, dalam Islam tak sakadar bunga tidur. Bagi orang-orang tertentu yang memiliki derajat keimanan yang ting gi, mimpi bisa memiliki makna yang bera gam dan mendalam. Tradisi penafsiran mim pi sendiri, sudah berlaku sejak per adab an manusia berada. Nabi Yusuf, misalnya, dikenal ahli dan mampu menakwil mimpi.

Dalam tradisi intelektual ulama klasik, aktivitas menafsirkan mimpi juga banyak mendapat perhatian. Banyak tokoh yang dikenal mahir mengartikan mimpi dan menghasilkan karya monumental, salah satunya adalah Ibnu Sirin, seorang tokoh yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Sirin al-Anshari. Dalam kitabnya berjudul Bi At-Ta’bir Ar-Ru’ya, ia memaparkan hal ihwal yang berkenaan dengan mimpi.

Selain kitab itu, sebenarnya ada satu lagi kitab yang disandarkan kepemilikannya terhadap Ibnu Sirin, yaitu Al-Muntakhab al- Kalam fi Tafsir al-Ahlam. Kitab yang pertama, oleh mayoritas ulama, valid diakui buah karyanya. Ibnu Khaldun, misalnya, menegaskan hal itu dalam Muqaddimah. Sosiolog Muslim tersebut menyebut Ta’bir murni karya Ibnu Sirin. Lain halnya dengan kitab yang kedua, Al-Muntakhab, Az Zarkali meragukan kebenaran penyandaran kitab tersebut atas Ibnu Sirin.

Ta’bir Ar Ru’yaterdiri atas25 bab utama. Ibnu Sirin mengawali kitabnya tersebut dengan meletakkan prinsip dan kaidah dalam penafsiran dan pembacaan mimpi. Menurut dia, penafsiran mimpi bukan akti vitas sembarangan. Mimpi, dalam Islam, — sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis antara lain nukilan Ibnu Majah— adalah sebagian kecil dari 46 instrumen kenabian. Karena itu, para penakwil mimpi setidaknya harus menguasai Alquran dan hafal hadis-hadis Nabi, paham tentang karakter dan pola hidup manusia, dan mengetahui kaidah-kaidah penakwilan.

Bekal seperti ini, dalam pandangan tokoh kelahiran Basra tersebut, penting dimiliki oleh penakwil mimpi. Mimpi muncul dengan latar belakang yang berbeda, baik waktu maupun tempatnya. Pembacaan terhadap mimpi pun kadang harus merujuk pada Alquran ataupun hadis Nabi. Dicontohkannya, seperti tafsir telur dalam sebuah mimpi bisa dimaknai dengan kejadian ataupun peristiwa dalam kehidup an nyata orang yang bersangkutan dan berkaitan dengan perempuan.

Penafsiran itu merujuk pada ayat ke-49 dari surah ash-Shaaffaat yang mengi baratkan kesucian bidadari-bidadari dengan telur burung unta yang tersimpan dengan baik. Adakalanya pula, sebuah mimpi ditafsirkan dengan lawan dari sebuah fakta. Misalnya, kondisi tertawa dalam mimpi, takwilnya bisa berarti akan menangis di kehidupan nyata. Begitu juga sebaliknya. “Bila menangis di mimpi, itu maknanya kita akan tertawa riang,” tulisnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement