Selasa 18 Oct 2016 20:48 WIB

Pemerintah Cina Larang Pengajaran Agama ke Anak di Bawah Umur

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Andi Nur Aminah
Muslim Uighur terus mendapat tekanan pemerintah Cina.
Foto: Ibtimes.com
Muslim Uighur terus mendapat tekanan pemerintah Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Pemerintah Cina menyerukan masyarakat untuk melaporkan teman, kerabat dan tetangga, yang mengajarkan kegiatan agama ke anak di bawah umur. Parahnya, aturan akan diterapkan cuma di Xinjiang mulai 1 November 2016, yang merupakan daerah populasi Muslim terbesar Cina.

Dilansir dari Independent, Selasa (18/10), aturan ini turut mengancam hak asuk anak-anak dari orang tua, dan cuma menerima perawatan dari sekolah spesialis. Xinjiang sendiri, merupakan daerah otonom yang menjadi rumah dari konsentrasi terbesar Muslim di Cina dengan etnis Uighur, dan berbatasan langsung dengan negara-negara Islam.

Aturan itu mengatakan orang tua dan wali tidak bisa mengatur, memikat atau memaksa anak di bawah umur untuk menghadiri kegiatan agama. Aturan ini seperti menjadi pondasi tambahan, atas larangan yang sebelumnya terhadap pakaian berbau Islam, termasuk jenggot bagi laki-laki dan jilbab untuk wanita.

"Setiap kelompok atau orang berhak untuk menghentikan perilaku-perilaku tersebut dan melaporkannya kepada otoritas keamanan publik," demikian bunyi aturan tertulis itu.

 

Jika orang tua tidak mampu mengeluarkan anak dari bahaya ekstrimis atau teroris, mereka tidak dapat melanjutkan proses belajar di sekolah yang ada. Orang tua cuma dapat mengajukan permohonan untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah spesialis, untuk mendapatkan pendidikan atau perawatan dengan istilah 'perbaikan.'

Kegiatan keagamaan dilarang di sekolah-sekolah, dengan dalih membimbing siswa menjauhi separatisme dan ekstrimisme, demi menciptakan lingkungan yang menjunjung ilmu dan menolak apa yang mereka sebut takhayul. Aturan ini bertentangan dengan apa yang digembor-gemborkan pemerintah Cina, kalau mereka menjamin kebebasan beragama.

Pemerintah Komunis yang berkuasa saat ini memang berencana membatasi praktik keagamaan untuk lima agama yang diakui secara resmi. Praktik keagamaan, hanya akan diperbolehkan di tempat resmi yang disetujui, dan mendapat audit kegiatan, rincian karyawan serta catatan keuangan dari badan keagamaan tersebut.

Beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menghancurkan gereja-gereja Kristen di bawah undang-undang terhadap bangunan ilegal, menahan mereka yang menolak selama penghancuran. Selain itu, pemerintah telah menghancurkan sekolah-sekolah Islam seperti madrasah di Xinjiang, terutama selama beberapa tahun terakhir.

Ratusan orang tewas di Xinjiang selama beberapa tahun terakhir akibat kerusuhan, yang oleh pemerintah Beijing malah disalahkan ke militan dan separatis Islam. Padahal, kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) telah menegaskan kalau kekerasan yang terjadi, lebih merupakan reaksi terhadap kebijakan Cina yang represif.

Pemerintah Cina mengelak mengakui semua pelanggaran di Xinjiang, dan menekankan hak-hak hukum, budaya dan agama dari orang-orang Uighur sepenuhnya dilindungi. Tapi, faktanya banyak pembatasan yang berbau membenci budaya dan agama orang-orang Uighur, yang belakangan semakin kecil mendapatkan peluang mengembangkan ekonominya.

Sementara, para aktivis Uighur yang telah melakukan aksi kampanye untuk perlakuan yang lebih baik, malah banyak mendapatkan penahanan di penjara. Kasus Profesor Ekonomi Ilham Tohti, menjadi yang paling menyita perhatian karena dijatuhi hukuman penjara sumur hidup pada 2014 lalu, dan mendapat tuduhan terlibat separatisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement