Jumat 26 Aug 2016 08:15 WIB

Haji dan Hijrah

Jamaah haji Kloter PDG-01 mendapat sajian buah kurma dan kue saat tiba di Mahbas Jin, Makkah, Kamis (18/8) dini hari waktu setempat.
Foto: Republika/Didi Purwadi
Jamaah haji Kloter PDG-01 mendapat sajian buah kurma dan kue saat tiba di Mahbas Jin, Makkah, Kamis (18/8) dini hari waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA --Haji masih ditanggapi salah kaprah oleh sebagian jamaah. Dr. H. Ali Rokhmad, M.PD, Kabid Bimbingan Ibadah Kementerian Agama menyebut  di sejumlah daerah tertentu, menunaikan haji tidak hanya sebagai pencapaian puncak spiritual seseorang bahkan dapat menjadi simbol eksistensi dan statifikasi seseorang di tengah komunitas masyarakatnya.

Pemaknaan haji yang tidak sepenuhnya tepat itu mendorong Konsultan Bimbingan Ibadah Daerah Kerja Mekkah untuk mengingatkan kembali ratusan ribu jamaah Indonesia akan konsep hijrah dalam haji. Haji adalah berhijrah. Meninggalkan segala yang buruk demi kehidupan yang lebih baik.

Di hadapan ratusan jamaah kelompok terbang (kloter) 6 Embarkasi Surabaya, tim Bimbingan Ibadah Daerah Kerja Mekkah, di tempat salat Hotel Dar Hadi yang berada di kawasan Aziziyah, Kamis (25/8), dia mengurai kembali satu persatu tak hanya prosesi tapi makna dari setiap prosesi dalam haji.

Mengawali bimbingan terhadap jamaah asal Bangkalan, Madiun dan Surabaya itu adalah KH Ihsanuddin Abdan, Ponpes Awaliyah Alawi Magelang, yang mencoba merinci kembali setiap tahapan yang harus dilalui oleh setiap jamaah untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah, mulai mengambil miqat dan niat di tempat pemondokan masing-masing, perjalanan menuju Arafah, Muzdalifah, Mina, hingga Tawaf Ifadlah, Sai, dan Tahallul.

"Karena sudah ahlu Makkah, maka miqat makani nya di maktab masing masing. Jangan lupa niat. Setiap kepala regu dan kepala rombongan harus mengingatkan seluruh jemaah untuk niat," kata KH Ihsan. Ia juga mengingatkan agar setiap anggota jamaah tidak melewatkan kesempatan emas wukuf di Arafah untuk memohon ampunan dan berdoa.

"Selama ini mungkin kita sering berbuat zalim kepada anak istri, keluarga, tetangga, dan lainnya. Saat itu kita mohon ampunan dan yakin kalau Alah mengampuni," ujarnya. Ia meminta agar seluruh jamaah dengan ikhlas mengakui setiap kezaliman dan ketidakberdayaan.

Sementara itu Guru besar Ilmu Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya Aswadi menyebut wukuf berarti berhenti. Karena itu ia mengajak jamaah untuk melangitkan harapan kepada Allah agar diberi kemampuan meninggalkan yang tidak benar dan keburukan. Harapan lainnya adalah agar diberi kekuatan istiqamah sehingga bisa melaksanakan nilai-nilai Islam yang diajarkan Rasulullah sepanjang zaman.

"Setelah meminta kemampuan meninggalkan yang tidak benar dan melaksanakan yang baik harapan lainnya adalah supaya setiap kita dapat mengembangkan kebaikan kepada orang lain sehingga mereka yang saat ini sedang mengalami kesulitan mendapat kemudahan dari Allah," ujar Aswadi.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement