Jumat 20 May 2016 04:53 WIB

Makkah, Jawa, dan Impian Berhaji Diponegoro

Foto: dok. Istimewa

REPUBLIKA.CO.ID, Berbarengan kekuasaan Majapahit surut, maka ajaran Islam di Pulau Jawa makin tersebar luas. Tak hanya merembes di kalangan rakyat biasa, para pemimpin kerajaan setelah itu memeluk agama Islam. Bahkan tak segan, seperti kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram mereka menyatakan diri sebagai ‘balad’ (negara Islam).

Seiring dengan itu, maka satu persatu orang dari kepulauan Nusantara pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tercatat Sunan Gunung Jati adalah orang pertama yang berangkat dari Jawa ke Makkah. Kepergian ini dilakukan pada awal akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an atau juga pada masa awal pendirian Kerajaan Islam Demak.

Tak hanya sebagai pusat ritual ibadah haji, pada saat itu posisi Makkah secara berangsur-angsur menjadi pusat perhatian, baik yang sifatnya keilmuan hingga sarana legitimasi politik. Kebetulan pula Makkah saat itu berada dibawah kekuasaan ‘super power ‘ dunia abad pertengahan Turki Usmaniyah (Ottoman).

Sedangkan 'orang Jawa' yang pertama kali berangkat ke tanah suci Makkah tercatat diantaranya adalah utusan Pangeran Rangsang dari Kraton Mataram yang saat itu pusatnya masih berada di Kota Gede (kota kecil di selatan Yogyaakrta). Kelak ketika naik takhta pangeran ini kemudian dikenal sebagai Sultan Agung.

Kepergian mereka ke Makkah diperkirakan terjadi pada tahun 1620-an. Namun kepergian mereka sebenarnya merupakan rombongan resmi kenegaraan yang kedua, setelah sebelumnya rombongan asal Kerajaan Banten mendahuli kepergian mereka.

Apa tujuan kepergian mereka ke Makkah? Jawabnya, selain untuk menunaikan ibadah haji, utusan tersebut juga hendak meminta izin untuk memakai gelar 'Sultan' di depan nama atau gelaran raja mereka. Selain itu juga diindikasikan kepergian mereka untuk menemui ‘syarif Makkah’ adalah untuk meminta ‘perlindungan’ bahwa mereka itu adalah mitra atau bahkan sekutu dari imperium Ottoman Turki (Turki Usmani).

Dan ketika balik, selain membawa oleh-oleh tanah pasir gurun yang ada di Makkah, rambut nabi, bendera kerajaan Ottoman, mereka pun mendapat restu dari ‘Syarif Makkah’ untuk memakai gelar Sultan di depan nama rajanya. Maka mulai saat itu gelar Raja Mataram memakai nama Sultan, atau tak lagi menggunakan gelar Sunan (Susuhunan) seperti gelar raja pada era Majapahit.

Kenyataan sejarah itu sejalan dengan isi pidato Sultan Hamengku Bawono ke X saat membuka Konggres Umat Islam pada awal Februari  2015. Pada forum itu Sultan menegaskan kembali soal kaitan Kraton Yogyaarta dengan Kerajaan Turksi Usmani dan juga kaitan orang dari Kraton Jogjakarta yang dibiayai pergi ke Makkah atas restu Sultan Yogyakarta.

‘’Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya kini tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki,’’ kata Sultan.

Soal kebiasaan Kraton mengirimkan abdi dalemnya pergi haji ke Makkah yang juga dilakukannya hingga pada ‘masa moderen’, Sultan menyatakan:

’Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa keberangkatan KH Ahmad Dahlan, yang saat itu adalah abdi dalem Kraton, justru atas dorongan dan dukungan Sri Sultan HB VII. Bakda membaca dalam “Tafsir AL Manaar” karya Abduh, pada 1912 ia pun mendirikan perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.’’

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement