Kamis 12 May 2016 04:57 WIB
Mengingat Kisah Berdarah di Madiun pada Akhir Tahun 1948

Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik Pemberontak PKI

Madiun setelah pemberontakan komunis. Anggota pasukan Republik, dipersenjatai dengan senjata otomatis, untuk membawa komunis ditangkap markas mereka di lingkungan atau Madiun. 25-10-1948
Foto: kitlv.nl
KH Zakaria.

Apakah kenangan buruk itu bisa terlupakan? KH Zakaria mengatakan tidak. Bahkan, meski sudah lebih dari 70 tahun berlalu, kenangan akan peristiwa penculikan itu masih diingatnya. Bahkan, laksana gambar hidup, bila diputar untuk diingat kembali, kenangan itu masih sangat jelas. Suasana, ekspresi wajah, dan para pelakunya masih terasa jelas seperti baru saja terjadi.

Berikut ini wawancara lengkap dengan KH Zakaria di rumahnya yang terletak di seberang jalan raya dan sisa rel lori pengangkut tebu. Di kompleks pesantren inilah kemudian lahir sosok Ketua MPR Kharis Suhud dan konglomerat jaringan media Jawa Pos Dahlan Iskan

Apa yang terjadi di Pondok Pesantren Takeran pada 18 September 1948?

Habis shalat Jumat, saya bersama para santri pondok yang sedang duduk-duduk di serambi masjid melihat ada mobil datang ke pesantren. Mobil itu warnanya hitam dan bentuknya kecil. Bersama mereka terlihat beberapa orang membawa stand gun dan ada yang membawa karaben. Di situ saya lihat ikut datang seseorang yang katanya berasal dari Jombang sebagai pemimpin rombongan. Orang itu beberapa waktu kemudian saya tahu namanya Suhud.

Sesampai di pesantren dan bertemu Kiai Imam Mursyid Mutaqin, ia kemudian berkata dengan mengutip ayat Alquran yang artinya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (bangsa) kecuali mereka yang berusaha mengubah nasibnya sendiri. Jadi, katanya rombongan yang datang itu ingin mengubah nasib bangsa Indonesia.

Tapi, sebelum mereka datang, di sekitar pesantren sudah tersebar pamflet yang isinya: Muso, Moskow, Madiun. Pamflet itu tersebar di sepanjang jalan raya yang ada di depan pesantren. Saya yang saat itu duduk di bangku kelas I SMP ikut membaca pamflet itu.

Nah, rombongan yang dipimpin Suhud yang di situ ada pejabat camat Takeran yang menjadi anggota PKI itulah yang menculik Kiai Mursid. Saat itu juga Kiai dibawa pergi.

Jadi, Anda masih ingat peristiwa itu?

Iya betul, bahkan sampai kini mimik wajah, warna pakaian para penculik itu semuanya saya masih ingat. Yang membawa pergi adalah seseorang yang memakai piyama warna krem. Dia pergi bersama Kiai Mursyid yang diapit oleh Suhud dan camat Takeran yang jadi anggota PKI itu.

Setelah Kiai Mursid dibawa pergi, kompleks pesantren ini saat itu kemudian di-stealing (dikepung) oleh para anggota PKI lainnya. Kami dikepung selama sekitar seminggu. Kami ingat betul pengepungan itu membuat persediaan garam di pesantren habis. Kami dikepung sekitar tujuh hari hingga pasukan Siliwangi datang membebaskan kami.

Kemudian bagaimana nasib Kiai Mursyid?

Semenjak dibawa pergi itulah, kami sampai kini tak tahu mengenai keberadaannya. Namun, seorang pemuda yang masih menjadi kerabat dan tinggal tak jauh dari pesantren melaporkan bila beberapa hari sebelum penculikan itu, desa-desa di sekitar Takeran dikepung oleh orang-orang yang berseragam hitam-hitam.

Mereka juga mengepung kantor Kecamatan Takeran. Beberapa rumah haji juga di sekitar Takeran didatangi, didobrak pintunya, dan penghuninya diancam. Mereka juga memukulinya dan memaksa agar tunduk pada PKI. Kata mereka, "Kamu mau tunduk, tidak?" Kalau tidak, terus dipukuli dan baru berhenti setelah menyatakan menerimanya.

Di situlah saya lihat penculikan itu memang disengaja dan sistematis. Para kader PKI terlihat sudah betul-betul siap melaksanakan gerakannya. Mereka bergerak ke mana-mana.

Apakah ada korban lain selain Pak Kiai Mursyid?

Yang diculik langsung di depan santri memang hanya beliau. Tapi, beberapa hari kemudian banyak santri dan pengurus pesantren juga hilang diculik mereka. Yang hilang itu kerabat kami, Moh Suhud (ayah Ketua MPR/DPR Moh Kharis Suhud), seorang guru yang mengajar di Mualimin milik Pesantren Takeran; kakak ibu saya, Imam Faham; ada Ustaz Hadi Addaba' (orang Arab yang menjadi guru bahasa Arab) di Pesantren Takeran; Maijo (kepala MI Takeran).

Ada juga yang ikut hilang, yakni Husen (anggota Hizbullah). Juga ada beberapa keluarga kiai pengikut tarekat yang ikut dibunuh. Nama-nama mereka sudah saya lupa persisnya. Namun, setelah jasadnya diangkat dari sumur, jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Madiun dan Magetan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement