Rabu 25 Nov 2015 08:40 WIB

DDII Kecam Hukuman Gantung Terhadap Dua Tokoh Partai Islam Bangladesh

Rep: c35/ Red: Andi Nur Aminah
Anggota Liga Projonmo menggelar aksi menyambut gembira keputusan pemerintah Bangladesh yang menghukum mati tokoh oposisi, Salauddin Quader Chowdhury dan Ali Ahsan Mohammad Mojaheed, di Dhaka, Bangladesh, Ahad (22/11). Namun sebaliknya, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) justru mengecam aksi tersebut.
Foto: EPA/Abir Abdullah
Anggota Liga Projonmo menggelar aksi menyambut gembira keputusan pemerintah Bangladesh yang menghukum mati tokoh oposisi, Salauddin Quader Chowdhury dan Ali Ahsan Mohammad Mojaheed, di Dhaka, Bangladesh, Ahad (22/11). Namun sebaliknya, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) justru mengecam aksi tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengecam tindakan Perdana Menteri Bangladesh Syeikh Hasina Wazed yang menghukum gantung dua tokoh partai Islam Jamaat el-Islami. Kedua tokoh tersebut adalah Ali Ahsan Mohammad Mujahid (66) dan Salahuddin Quader Chowdhury (67). 

"Dewan Dakwah menyesalkan penjatuhan hukuman mati terhadap Mujahid dan Chowdhury, hendaknya mereka meniru Indonesia atau Afrika Selatan dalam hal rekonsiliasi," tutur Muhammad Siddik, Ketua Umum DDII kepada Republika.co.id, Senin (23/11).

Dia mengibaratkan kondisi di Indonesia. Menurutnya, jika tidak ada rekonsiliasi maka mungkin saja Megawati maupun anak-anak Presiden Sukarno yang lain akan menuntut balas pihak-pihak yang telah menjegal ayahnya pada masa kepemimpinannya. Begitu juga di Afrika Selatan, ketika Nelson Mandela dipenjara selama 25 tahun pada saat munculnya politik apharteid, namun dia tidak melakukan balas dendam terhadap penguasa. Hal-hal seperti itu pula, menurut dia yang harus dilakukan pemerintah Bangladesh. 

Mujahid dinyatakan bersalah karena dituduh telah membunuh intelektual ternama, dan juga memimpin angkatan bersenjata Al Badr selama perang pada 1971. Sementara Chowdhury dituduh genosida selama perang 1971 yang kemudian memecah Pakistan Timur dan Pakistan Barat. Pakistan Timur kemudian menjadi Bangladesh.

Ustaz Siddik meyakini pemerintah Bangladesh melakukan hal itu karena kedua tokoh tersebut adalah rival politik Perdana Menteri Syeikh Hasina Wazed. Padahal menurut dia, pada masa itu banyak pihak lain yang ingin tetap mempertahankan Bangladesh. 

Pada tahun 1971, Ustaz Siddik menjelaskan, diselenggarakan pemilihan umum. Pihak Pakistan Timur solid mendukung Mujibur Rahman, ayah dari Perdana Menteri Wazed. Sementara di Pakistan Barat ada empat suku besar, yaitu suku Punjab, Baluchistan, Shindi dan Pashtun. Karena mereka terpecah-pecah maka pemilu dimenangkan oleh Pakistan Timur. 

Seharusnya Mujibur Rahman yang menang, namun pemerintah Militer di Pakistan Barat tidak setuju, karena mereka memandang rendah Pakistan Timur. Sehingga terjadi kebuntuan dan India membantu Pakistan Timur atau Bangladesh. Terlebih karena wilayah Bangladesh terkepung oleh India dan segala penjuru kecuali sebagian kecil yang berbatasan dengan Myanmar.

"Ini kan sudah 45 tahun lalu, seharusnya ada pengampunan. Pemerintah Bangladesh tidak paham government di masa-masa transisi. Bisa saja ketika nanti dia jatuh dari pemerintahan, lalu partai yang menggantikannya akan bertindak membalas dendam lagi," katanya menegaskan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement