Kamis 03 Sep 2015 22:19 WIB

Idul Adha Berbeda, Muhammadiyah: Mestinya Menag Dorong Keberagamaan Toleran

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Indah Wulandari
Ribuan jamaah menunaikan ibadah shalat Idul Adha 1435 Hijriyah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (5/10).  (Republika/Agung Supriyanto)
Ribuan jamaah menunaikan ibadah shalat Idul Adha 1435 Hijriyah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (5/10). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai pemerintah hendaknya mendorong masyarakat memahami perbedaan hasil ijtihad beragama.

Pernyataan Mu'ti menanggapi imbauan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mendorong ormas Islam untuk mengikuti Majelis Ulama Indonesia dalam penentuan kalender Hijriyah. Sebelumnya, Muhammadiyah telah mengumumkan Idul Adha 1436 Hijriyah pada 23 September 2015 atau sehari lebih cepat dari kalender yang ditetapkan pemerintah.

"Menag boleh saja mengimbau, tapi menurut saya semestinya Menag mendorong keberagamaan yang toleran, mandiri, dan terbuka sehingga masyarakat tidak perlu merasa takut dengan perbedaan," ujar Mu'ti ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (3/9).

Ia menjelaskan, wilayah penentuan itu wilayah ijtihad. Oleh karena itu, ujarnya, pemerintah perlu mendorong agar masyarakat saling memahami perbedaan hasil ijtihad bukan ke arah penyeragaman pemahaman agama.

Penyeragaman pemahaman agama, kata Mu'ti, selain bertentangan dengan sunnatullah dan sifat dasar ajaran agama itu sendiri juga tidak sehat dalam rangka mendorong kehidupan beragama yang pluralistik.

"Perbedaan pemahaman itu harus dimaknai sebagai realitas dan kekayaan. Masing-masing umat beragama sesuai keyakinannya dan menentukan pilihan berdasarkan nalar keberagamaannya," ujarnya.  

Selain itu, Mu'ti menilai, MUI bukan lembaga yang merupakan representasi pemerintah. Sehingga, keputusan MUI pun tidak mengikat. "Dalam hukum Islam, kedudukan fatwa MUI sama dengan fatwa-fatwa ormas keagamaan lainnya," kata Mu'ti.

Mu'ti menekankan, agar pemerintah mendorong upaya agar umat ini beragama secara mandiri ketimbang secara patronase apalagi diarahkan pada penyeragaman. Menurut Mu'ti, persatuan Islam bukan berarti penyeragaman Islam.

Ia mengatakan, persatuan Islam adalah perasaan terikat antara satu dengan yang lain meski berbeda-beda. "Persatuan itu ada karena ada perbedaan," ujarnya.

Terkait dengan upaya penyatuan kalender Hijriyah, Mu'ti menerangkan pihaknya berupaya dalam rangka ingin memberikan kepastian dan mencari titik temu dalam metode penetapan.

"Kalau misalnya tidak ada titik temu ya hasilnya jangan diharapkan sama," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement