Rabu 01 Jul 2015 21:19 WIB
Perkawinan Sejenis Disahkan

Muhammadiyah: LGBT tidak Boleh Ditoleransi

Rep: C38/ Red: Ilham
Peringatan Milad Seabad Muhammadiyah yang dihadiri oleh sekitar seratus ribu peserta di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Ahad (18/11).  (Republika/Aditya Pradana Putra)
Peringatan Milad Seabad Muhammadiyah yang dihadiri oleh sekitar seratus ribu peserta di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Ahad (18/11). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernikahan sesama jenis tidak boleh menjadi gerakan yang ditoleransi di Indonesia. Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menilai, konflik sosial akan muncul apabila kelompok LGBT menuntut hak-hak konstitusional di negara kita.

“Pernikahan sesama jenis jelas dilarang oleh agama manapun. Ini jangan sampai menjadi alam pikiran atau gerakan yang ditoleransi di Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa,” kata Haedar Nashir kepada Republika, Selasa (30/6).

Haedar mengungkapkan, itu prinsip pertama yang harus dipegang. Menurutnya, kalangan Muslim, ormas Islam, institusi pemerintah, lebih-lebih pejabat negara harus punya prinsip tersebut. Pandangan kelompok yang menuntut bolehnya pernikahan sesama jenis bertentangan dengan agama dan nilai-nilai luhur Pancasila.

Kalau sudah berpandangan tegas seperti itu, kata Haedar, tidak akan terbuka ruang bagi tokoh-tokoh gay untuk memperjuangkan pernikahan sesama jenis. Apalagi tidak hanya Pancasila, UU Perkawinan di Indonesia juga tidak membenarkan praktik tersebut.

Doktor Sosiologi UGM ini pun mengkaitkan fenomena ini dalam sudut pandang sosial. Menurutnya, kelompok penyuka sesama jenis akan merasa mempunyai hak hidup secara konstitusional ketika perilaku ini dianggap komoditas atau gaya hidup. Itu bisa terjadi saat mereka mendapat artikulasi sosial di tengah masyarakat.

Ia melanjutkan, masalah muncul saat kelompok itu menuntut hak-hak konstitusional dan pengakuan di ranah publik. Hal ini akan berlawanan dengan komunitas lain yang tidak sepakat dan mempunyai ketaatan penuh pada agama. Jika ini sampai terjadi, maka konflik sosial yang akan terjadi.

“Kalau dalam konteks personal ada orang-orang yang mempunyai bawaan seperti itu, bisa dibina, diarahkan, dan diedukasi. Setidaknya, semakin lama semakin berkurang. Ka rena ini memang tidak boleh, inilah hukum Tuhan untuk orang-orang yang beragama,” kata Haedar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement