Selasa 21 Apr 2015 18:35 WIB

Cegah Radikalisme dengan Mempelajari Akar Agama Islam

Rep: c 71/ Red: Indah Wulandari
Slamet Effendy Yusuf
Slamet Effendy Yusuf

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemikiran radikalisme dalam beragama perlu disikapi dengan bijak dengan menelaah Islam hingga ke akar-akarnya, serta harus memerhatikan konteks waktu dan tempat. Supaya radikalisme tidak lantas melahirkan metode paling buruk, yaitu terorisme.

"Jika terus berupaya mengkafir-kafirkan tentu tidak benar," ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf , Selasa (21/4).

Slamet menjelaskan, sebuah agama memiliki radiks atau akar.  Mempelajari akar agama dari sumber-sumbernya, yaitu Alquran, Hadis, dan metode-metode seperti ijma dan qiyas perlu dilakukan.

Namun, ia mencermati justru radikalisme pada saat ini lebih menjurus pada upaya menerjemahkan dan mengaplikasikan akar ajaran agama secara tidak kontekstual.

"Pendekatannya justru dengan kacamata kuda sehingga linier. Dari sana, lahir radikalisme yang bersifat lebih ke arah politis," ujar Slamet.

Slamet mencontohkan radikalisme dalam memahami sumber hukum. Alquran menyebutkan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka dia adalah orang kafir. Slamet berkata, para radikalis yang berpikiran sempit lantas menerjemahkan dalil itu secara harfiah.

Namun, kata Slamet, ada juga para pemikir yang mengaitkan dalil dengan konteks waktu dan tempat sehingga akan menjadi cocok.

Menurut Slamet, ayat tersebut tidak bisa diartikan secara harfiah namun harus diartikan secara substansial. Substansinya bahwa hukum Allah bersumber dari prinsip keadilan.

Hal itu pun dijelaskan pula dalam teks lain yang menyebutkan hendaknya seseorang berdiri dengan iman yang teguh sebagai saksi untuk penegakkan keadilan.

"Radikalisme biasanya muncul dari orang-orang yang menerjemahkan hukum Islam secara harfiah, tidak cocok dengan tempat dan waktu saat ini, dan tidak sesuai dengan kemaslahatan umat," ujar Slamet.

Slamet pun menekankan pentingnya muslim Indonesia untuk mengembangkan model pemahaman yg luas. "Biasanya dari sana lahir model pemahaman moderat yang toleran," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement