Rabu 04 Mar 2015 21:15 WIB

Soal Hukuman Penyimpangan Seksual, Pemerintah yang Tentukan

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Agung Sasongko
Ketua MUI Din syamsuddin (tengah) berbicara dalam konfrensi pers di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI),Jakarta, Kamis (8/1).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Ketua MUI Din syamsuddin (tengah) berbicara dalam konfrensi pers di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI),Jakarta, Kamis (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin AF mengatakan, dalam Islam penyimpangan seksual dilarang keras.  "Mau suka sama suka atau tidak, sama saja hukumnya haram. Itu termasuk zina dalam Islam dan pelakunya bisa  dihukum berat," kata Hasanuddin, Rabu, (4/3).

Dasar hukuman bagi pelaku penyimpangan seksual seperti homoseksual dan lesbian adalah pidana ta'zir. Pidana ta'zir adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuannya dalam Alquran maupun Hadist.  "Jadi dasar hukumnya adalah ijtihad. Sanksi hukumnya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Yaitu, sanksi ta'zir namanya," kata dia.

Sanksinya ta'zir  boleh dipilih mulai dari yang teringan sampai yang paling berat yaitu hukuman mati.  Jadi pelaku gay, lesbi atau sodomi itu bukan harus dihukum mati, tapi tentunya terserah pemerintah yang punya kewenangan untuk menetukannya.

Fatwa itu hanya memberi ruang kepada pemerintah untuk menentukan sanksinya. Sanksi ta'zir dalam hukum Islam  boleh dipilih mulai dari yang teringan sampai hukuman mati, jadi bukan harus dihukum mati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement