Kamis 29 Jan 2015 15:22 WIB

Pesantren Raudhatul Makfufin, Setitik Cahaya untuk Jalani Hidup (3)

Rep: c13/ Red: Damanhuri Zuhri
Suasana di pesantren Raudhatul Makfufin, Pesantren tunanetra di Serpong Tangerang Selatanl.
Foto: Foto: Wilda
Suasana di pesantren Raudhatul Makfufin, Pesantren tunanetra di Serpong Tangerang Selatanl.

REPUBLIKA.CO.ID,

Setiap manusia di dunia ini pasti pernah mengalami cobaan dan ujian dari Allah SWT. Ada yang menjalaninya dengan tetap sabar dan ada pula yang sebaliknya.

Cobaan ketiadaan penglihatan tak hanya dirasakan Firman. Kawannya, Anto, juga harus menerima keadaan yang sangat menyakitkan ini. Anto menceritakan, cobaan ini tak lepas dari perbuatan yang telah dia lakukan.

Menurut Anto, kehilangan penglihatan ini bermula dari rasa penasaran. Saat usia SMA kelas tiga, Anto mengaku, pernah mencicipi buah kecubung.

Buah ini dia konsumsi dengan mencampurinya dengan sambal. “Saya benar-benar penasaran,” ungkap laki-laki yang berusia 35 tahun ini mengisahkan.

Tanpa berpikir, dia pun langsung mengonsumsi makanan yang memang dikenal beracun itu. Tanpa menunggu waktu lama, buah ini ternyata langsung memberikan respons.

Anto mengaku pusing, mual, dan demam setelah mengonsumsi buah ini. Rasa sakitnya ini berlangsung hanya dua hari. Meski demam Anto sudah hilang, Anto mengaku, merasa aneh dengan penglihatannya.

Daya kemampuan penglihatannya semakin menurun dari waktu ke waktu. Bahkan, penglihatannya semakin tidak baik saat dia duduk di bangku kuliah semester pertama di Yogyakarta.

Karena daya penglihatannya tak mendukung, Anto pun terpaksa berhenti dari bangku kuliah. Dia harus menjalani pengobatan tradisional di beberapa tempat, terutama di Cirebon.

Segala usaha telah Anto lakukan untuk mengembalikan penglihatannya. Namun, usaha ini tidak bisa memberikan hasil yang nyata. Tepat pada 2007, penglihatan Anto pun benar-benar tidak bisa tertolong lagi. Anto divonis buta total.

Anto mengaku, tak tahu cara menyikapi keadaan yang menyakitkannnya itu. Kondisi ini semakin membuat laki-laki ini pedih ketika sang bunda tak henti-hentinya menangis. Tidak ada yang bisa dilakukan Anto saat itu kecuali berdiam diri di rumah.

Selama bertahun-tahun, Anto hanya berdiam diri di rumah. Mendengarkan radio merupakan salah satu kegiatan favoritnya. Memang, kegiatan ini yang menurut Anto bisa dia lakukan mengingat bagian telingalah yang masih berfungsi dengan baik dibanding matanya.

Waktu terus berjalan mengitari kehidupan Anto. Hingga, akhirnya dia merasa harus membuka diri dalam menghadapi hidup. Dia tidak ingin terkunci di ruang sempit kamarnya itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement