Ahad 01 Jun 2014 14:43 WIB

Kisah Relawan BSMI di Wamena, Dari Dipukul Sampai Ditodong Senjata

Aksi sosial relawan BSMI di Perkampungan Walesi,Jayawijaya
Foto: Republika
Aksi sosial relawan BSMI di Perkampungan Walesi,Jayawijaya

REPUBLIKA.CO.ID, Rutinitas kegiatan relawan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) di Wamena, Jayawijaya, penuh warna. Bukan hanya perkara aktivitas sosial, banyak pengalaman dari para relawan saat berinteraksi dengan warga pribumi yang tak jarang mengancam nyawa.

Poby Karmendra, seorang dokter ptt yang juga relawan BSMI di Wamena, punya cerita. Ditugaskan di Distrik Bokondini, Poby sudah setahun menjalani masa ptt. Bujang lulusan Universitas Andalas ini harus tiga jam menempuh perjalanan untuk sampai di distrik yang terletak di dataran tinggi tersebut.

Untuk sampai ke daerah ptt, Poby harus menumpang 'angkot' strada dengan mengeluarkan ongkos sekitar Rp 300 ribu jika ingin menumpang di dalam. Sedangkan bagi penumpang di bak, harganya bisa lebih murah Rp 50 ribu. "Di sini hanya ada strada untuk ke pedalaman,"ujar Poby saat berbincang dengan Republika.

Biasanya, Poby menghabiskan waktu tiga bulan selama di Bokondini. Disana, pria kurus ini harus melayani pasien dari penduduk setempat di sebuah puskesmas. Banyak kasus penyakit dia tangani. Dari sakit remeh temeh macam batuk dan flu sampai penyakit ganas seperti HIV/AIDS.

Hanya, kesibukan Poby di Puskesmas tak membuatnya lupa akan 'hobinya' di bidang kemanusiaan dan dakwah. Poby masih menyempatkan diri untuk mengisi pengajian di distrik yang menjadi wilayah penginjilan pertama di Pegunungan Tengah. Disana, Poby membina anak-anak para mualaf yang jumlahnya berkisar limapuluhan.

Syahdan, Poby turun dari Bokondini. Seperti biasa, dia pun menumpang angkot strada untuk pulang ke Wamena. Poby ketika itu duduk berdampingan dengan seorang ibu muda berjilbab di dalam Strada. Di tengah jalan, angkot tumpangan Poby ternyata dicegat warga asli. Seorang lelaki lantas mencoba mengambil tas bawaan perempuan berjilbab itu. 

Refleks Poby sigap. Dia segera menahan tas tersebut agar tidak dijambret. Lelaki itu lantas memukul wajah Poby, sambil bertanya, "kamu siapa?"Hanya, belum sempat Poby menjelaskan, tangan kekar pria itu kembali meninju wajah Poby. Karena dokter muda itu tidak juga mau melepaskan tas, wajahnya kembali jadi sasaran.

Tiga kali sudah tinju pria itu hinggap di wajah Poby. Kali ini, pria berkulit legam itu memberi Poby kesempatan bicara. "Saya dokter bapak,"ujarnya. "Dokter mana?" "Dokter rumah sakit".

Masih merasa curiga, tatap pria itu lalu beralih ke ibu berjilbab. "Lalu ini siapa?" Pertanyaan itu segera dijawab lekas oleh seorang penumpang lain."Itu istri dokter". Kemarahan si lelaki Wamena pun reda. Dia lantas melepaskan tas yang akan dijambret tersebut. "Oo.. Dokter toh. Jaga anak saya yah," katanya singkat sambil berlalu tanpa penyesalan.

Menurut Poby, profesi dokter memang dihormati di Wamena. Status dokter di Lembah Baliem sejajar dengan pendeta dan guru. Berkat profesinya itu, Poby berhasil lolos dari maut.

Kisah tak kalah seru dialami Imam Garaudy. Tak seperti Poby, Imam adalah relawan BSMI yang bukan berasal dari tenaga medis. Pria asli Tegal tersebut merupakan CPNS Kementerian Keuangan yang ditempatkan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Wamena. Di BSMI, Imam biasa menjadi sopir saat melakukan misi kemanusiaan.

Cerita Imam terjadi pada 2012. Alkisah, Wamena ketika itu sedang dilanda ketegangan. Ada seorang tentara yang diduga dibunuh warga pribumi. Awalnya, sebuah motor menyerempet seorang anak warga asli. Warga yang marah kemudian mengejar pengendara motor, meski anak yang ditabrak tidak tewas. Salah seorang diantaranya yang kebetulan adalah tentara kemudian ditikam dengan senjata. Tentara tersebut pun tewas.

Kabar kematian tentara dengan cepat sampai ke markas. Tentara tanpa seragam kemudian keluar dari barak. Tembakan berhamburan. Mereka mencari pelaku pembunuhan koleganya tersebut. Pembakaran terjadi dimana-mana. Wamena ditetapkan berstatus siaga.

Imam, Jumat itu,  hendak keluar dari kantor KPPN di Jl Yos Sudarso. Bunyi berondong senjata malah membuat alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tersebut penasaran. Imam lantas mencoba merekam mereka dalam kamera handphonenya. Belum selesai merekam, rombongan mobil tentara kemudian berhenti. Rupanya, ada yang sadar dengan aktivitas Imam.

"Ada yang bawa handphone". Teriak seorang anggota rombongan. Seorang tentara berpakaian preman turun dari mobil. Dengan langkah tegap, tentara itu menghampirinya. Dia lantas membanting handphone dan meninju wajah Imam hingga tiga kali. "Kamu wartawan ya?"

Belum sempat dijawab, tentara tersebut langsung menginjak Imam yang berada pada posisi tengkurap.  Dia pun menempelkan senapan buatan Pindad, SS1 di tengkuk Imam. Suasana semakin tegang. Untungnya, datang atasan Imam sambil berteriak. Dia memberitahu intel tersebut jika Imam bukan wartawan. "Dia pegawai sini,"ujarnya.

Rombongan tentara yang mengenal pejabat KPPN tersebut langsung melepas Imam. Pemuda itu lantas ditarik atasannya masuk ke dalam kantor. Imam terkulai menatap rombongan tentara yang berlalu dengan berondongan senjata. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement