Selasa 22 Apr 2014 06:08 WIB

Kebebasan Berjilbab Genting

Polisi Wanita (Polwan) saat mengikuti peragaan pakaian dinas untuk Polwan berjilbab yang digelar di Lapangan Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Jakarta beberapa waktu lalu.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Polisi Wanita (Polwan) saat mengikuti peragaan pakaian dinas untuk Polwan berjilbab yang digelar di Lapangan Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Jakarta beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

  

Persoalan jilbab akan dijadikan isu internasional dengan mengajukannya kepada OKI.

JAKARTA – Negara tak memberikan perlindungan terhadap Muslimah yang ingin menjalankan keyakinannya, berjilbab. Kebebasan berjilbab  sudah dalam keadaan genting. Apalagi berbulan-bulan kasus jilbab polwan dan larangan pelajar berjilbab di Bali tak kunjung selesai.

‘’Negara tak memberi kebebasan beragama termasuk izin berjilbab di kalangan Polri, TNI, perusahaan negara dan swasta, serta lembaga pendidikan,’’ demikian pernyataan Aliansi Pelajar Mahasiswa Indonesia untuk Kemerdekaan Berjilbab dalam aksinya, Senin (21/4).

Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bidang Perempuan Irma Budiarti Sukmawati, menuturkan sejak November masyarakat meminta agar polwan diizinkan berjilbab. Namun, pemerintah sama sekali tak menggubris.

Ia menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak mampu melindungi hak warganya. Ini catatan tersendiri pemerintahan SBY.

Terlebih jika sampai akhir jabatannya Presiden belum juga memberi kejelasan soal kemerdekaan berjilbab, itu jadi sejarah buruk Indonesia.

‘’Di akhir masa jabatannya, Presiden tidak menunjukkan upaya memberikan hadiah indah untuk rakyatnya,’’ kata Irma.

Pelajar dan mahasiswa, ujar dia, masih berprasangka baik kelak sebelum lengser Presiden mengizinkan jilbab di semua institusi.

Namun jika pemerintah tak kunjung menyelesaikan isu jilbab ini, maka jilbab bakal dijadikan isu internasional.

Persoalan ini, kata Irma, akan dibawa dalam konferensi kebebasan menjalankan agama dan ibadah yang digelar Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta, Juni 2014.

Ketua Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jabodetabek Ahmad Hidayat mengungkapkan,’’Kebebasan berjilbab di berbagai institusi sudah genting.’’

Ada ironi, kata Ahmad Hidayat, Presiden SBY menerima penghargaan negarawan paling berjasa dalam toleransi beragama.

Di sisi lain, Presiden SBY sulit mewujudkan kebebasan berjilbab bagi para Muslimah. Panjangnya proses yang sudah dilalui diharapkan dapat membawa isu kebebasan dalam berjilbab menjadi gerakan nasional. Bisa lewat kajian di kampus maupun birokrat negara.

Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Bidang Komunikasi Umat Helmy al-Djufri mengatakan selain tak memberikan kebebasan beragama pemerintah juga mengkhianati konstitusi bangsa. Sebab dalam konstitusi, ada jaminan hak beragama dan pendidikan tanpa diskriminasi.

Ironisnya, pengkhianatan terjadi secara sistematis. Melibatkan Presiden, Polri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kepala daerah hingga kepala sekolah. Presiden, tak kunjung memberikan izin polwan berjilbab.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jelas dia, tak juga menjatuhkan sanksi terhadap kepala dinas dan sekolah yang melarang pelajar berjilbab. Dinas pendidikan melindungi kepala sekolah yang jelas membuat peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945.

Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution, mengatakan kalau Presiden sayang terhadap warga Muslimah di Polri, TNI, sekolah, dan institusi lainnya, persoalan kebebasan berjilbab harus diambil alih. Apalagi dalam sistem presidensial otoritas tertinggi pada Presiden.

Komnas HAM memandang akan lebih efekif dibuat peraturan pemerintah. Dengan demikian, tak perlu setiap lembaga mengeluarkan surat keputusan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement