Sabtu 14 Jul 2012 20:01 WIB

Ulama Ba Alwee dan Dakwah Islam

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Heri Ruslan
 Tokoh Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq (tiga kanan), bersama massa Forum Umat Islam (FUI) melaksanakan shalat Maghrib di Silang Monas di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/3).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Tokoh Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq (tiga kanan), bersama massa Forum Umat Islam (FUI) melaksanakan shalat Maghrib di Silang Monas di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID,  Kedatangan para Ba Alwee di Indonesia pada umumnya berprofesi sebagai pedagang perantara, pedagang kecil, dan pemilik toko.

Profesi tersebut memungkinkan para Ba Alwee untuk melakukan dakwah, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Antropolog UI, Prof Dr Yasmine Zaki Shahab, mengatakan, sejarah migrasi Ba Alwee ke Indonesia berlangsung sejak pertengahan abad ke 18 dan peran mereka dalam dakwah amat signifikan dalam perkembangan islam di Indonesia.

"Salah satu strategi dalam penyebaran Islam adalah perkawinan dengan keluarga keraton, dalam hal ini sebuah penelitian mencatat bahwa sultan di Pontianak berasal dari fam Al-Qadri dan merupakan keturunan arab," ujarnya, Sabtu (14/7).

Yasmine menambahkan keturunan Arab sudah berpengaruh di kesultanan kutai sejak abad ke-18 dan berhak memakai gelar kebangsawanan seperti Aji Raden. Para pejabat Kutai dari keturunan arab umumnya adalah golongan Sayyid dan rata-rata menjadi penasehat informal dari para sultan.

"Para Ba Alwee yang masuk ke dalam lingkungan keraton memiliki karismatik tersendiri sehingga mereka disegani dalam masyarakat dan dianggap sebagai orang-orang suci keturunan arab," ujar Yasmine.

Karisma dan kebesaran para habib ulama terdahulu memiliki kesan tersendiri dalam masyarakat. Yasmine menjelaskan, karisma para habib terdahulu mewarnai peran mereka dalam menyebarkan islam di Indonesia.

Oleh sebab itu, sampai saat ini mereka masih disegani oleh sebagian masyarakat. "Contohnya adalah munculnya protes keras ketika Pemda DKI Jakarta berniat untuk memindahkan makam Habib Muhammad Al Haddad atau mbah priuk, ini menunjukkan bahwa beliau memiliki karisma yang sampai saat ini masih menempel dalam masyarakat," ujarnya.

Pada masa reformasi ini, banyak muncul perubahan dan pembaharuan dakwah di Indonesia. Menurut Yasmine metode dakwah pada masa ini kebanyakan melalui baliho, spanduk, penutupan jalan, dan aksi kendaraan bermotor.

"Bahkan spanduk ini berfungsi sebagai media kontestasi yang bisa membawa ekses negatif," ujarnya. Lebih lanjut Yasmine menjelaskan, jika dibandingkan dengan para ulama terdahulu, para da'i masa kini telah memperluas ranah profesinya.

Para da'i tersebut bukan hanya berkecimpung dalam dunia pendidikan dan agama, tapi juga di ranah politik. Sedangkan pada masa dahulu pada da'i mengajar di kediamannya maupun di masjid, dan ditutup dengan maulid. Namun saat ini para habaib tidak lagi melakukan hal-hal tersebut, sehingga muncul kekhawatiran mengenai adanya regenerasi da'i atau ulama di masa kini.

"Kontestasi ini akan menjadi positif apabila membawa peningkatan kepada peran da'i yang sesungguhnya. Namun hal tersebut juga bisa menjadi negatif bila menurunkan karisma da'i," ujar Yasmine.

Revitalisasi metode dakwah yakni bagaimana menghidupkan kembali kewibawaan dalam dakwah Ba Alwee pada masa lampau sehingga para da'i tetap memiliki karisma.

"Sebaiknya Ba Alwee dapat menangkap perkembangan, modernisasi, dan globalisasi demi menyebarnya dakwah secara vertikal dan horizontal," kata Yasmine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement