Jumat 09 Sep 2011 01:00 WIB

Arkeolog Kesulitan Teliti Kebudayaan Islam di Pulau Haruku

Pulau Haruku, ilustrasi
Foto: Kewang Haruku
Pulau Haruku, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON-- Penelusuran jejak sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Ambon, Juni 2011 terkendala adat istiadat setempat.

"Penelitian awal telah dilakukan, tetapi tidak bisa dilanjutkan. Masyarakat setempat tidak memperbolehkan kami untuk melakukan penggalian terhadap situs-situs kepurbakalaan yang ada, karena melanggar adat istiadat mereka," kata Wuri Handoko, Peneliti Arkeologi Islam di Balai Arkeologi Ambon, Kamis.

Menurut dia, ekskavasi harus dilakukan agar pihaknya bisa mengidentifikasi lebih lanjut adanya pengaruh kebudayaan Cina dalam penyebaran agama Islam di Pulau Haruku, khususnya di Desa Rohomoni, Kabauw dan Kailolo sekitar abad ke-15 Masehi.

Dalam penelitian awal yang dilakukan, Balai Arkeologi Ambon menemukan arsitektur, ukiran bermotif naga dan flora khas Cina di masjid kuno Uli Hatuhaha di desa Rohomoni, Tarusari di desa Kabauw dan Nandatu di Desa Kailolo.

 

Mereka juga menemukan makam kuno salah satu penyiar Islam asal Cina di desa Kailolo. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Upuka Pandita Mahuang atau Tuanku Mubaligh Ma Hwang. Di waktu-waktu tertentu diziarahi oleh penduduk muslim Haruku.

Nama Ma Hwang kemudian dikaitkan dengan nama salah satu tokoh penyebar Islam asal Cina Ma Huang, pengawal Laksamana Cheng Ho yang menurut ahli sejarah barat pernah menyinggahi Indonesia sekitar tahun 1371-1435 Masehi.

"Islam mulai masuk di Haruku sekitar abad ke-15, sedangkan dalam penjelasan para sejarahwan barat sangat kecil kemungkinan Ma Hwang yang dimaksud adalah Ma Huang pengawal Cheng Ho. Ini hanya bisa dipastikan dengan melakukan penggalian terhadap makam Upuka Pandita Ma Hwang," ujar Handoko.

Handoko mengatakan, inskrip arab-melayu yang ditemukan di makam kuno mubalig asal Cina tersebut agak sulit terbaca, sehingga dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam untuk memastikan isi dan artinya.

"Makam itu pernah diperbaharui oleh masyarakat setempat, jadi kami agak kesulitan untuk memastikan apakah tulisan itu salinan yang asli atau bukan," katanya.

Ia menambahkan, berdasarkan data etnografi, yakni tradisi bertutur masyarakat pulau Haruku, marga Pattiasina dipercaya sebagai leluhur mereka yang berasal dari Cina. Pattiasina mengandung arti Patih atau Raja dari Cina.

"Berdasarkan beberapa literatur yang ada, pengaruh Islam mulai masuk ke sana sekitar abad ke-15. Para penyebar agama ini pun berasal dari bermacam-macam penjuru, salah satunya adalah Cina," kata Wuri Handoko.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement