Jumat 28 Jan 2011 15:00 WIB

Balada Cina Muslim di Indonesia, Minoritas Memeluk Agama Mayoritas

Rep: Agung Sasongko/ Red: Stevy Maradona
Abang Faisal, warga Muntok Bangka Barat, memperlihatkan silsilah keluarga Cina Muslimnya.
Foto: Zhuang Wubin
Abang Faisal, warga Muntok Bangka Barat, memperlihatkan silsilah keluarga Cina Muslimnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengajar Jurusan Indonesia, Beijing Foreign Univeristy, Eddy Prabowo mengatakan terdapat banyak cara bagi komunitas Tionghoa untuk memutuskan menjadi muslim. Sekian banyak cara yang ada hanya menyisakan dua jalan besar yakni sosialiasi dengan umat Islam lain diluar etnis Tionghoa dan pendidikan.

“Harus diakui ada pandangan yang mengatakan Islam dan China merupakan dua kutub yang berlawanan. Tak heran segera muncul pernyataan seperti China kok Muslim, atau Tionghoa

Muslim, memang ada,” kata Eddy.

Yang menarik, lanjut dia, setiap agama sejatinya bebas dipeluk komunitas Tionghoa. Namun ketika pembicaraan mengarah pada Islam dan China memang tidak terlepas dari perlakuan sejarah di masa lalu.

Menurut Eddy, Muslim Tionghoa dalam memperoleh identitas keislamannya boleh dibilang sangat sulit. Selain harus menghadapi pakem kepercayaan keluarga zaman kolonial tentang

pentingnya pernikahan satu etnis, Muslim Tionghoa juga harus berhadapan dengan sterotip di

masyarakat. “China kok Muslim. Padahalnya bisa saja dikatakan China kok Katholik,” imbuhnya.

Belum lagi masalah lain yang harus dihadapi seperti perlukan tradisi nenek moyang ditinggalkan setelah memeluk Islam. Menurur Eddy, perbincangan macam itu sangat banyak terjadi. Perdebatan bahkan berlanjut pada perlu tidaknya seorang Muslim merayakan Imlek. Atau mungkin, boleh tidaknya melakukan sembahyang dupa guna menghormati orang tua. Masalah-masalah seperti ini yang kebanyakan sering dihadapi. “Itulah salah satu fungsi organisasi paguyuban seperti PITI atau yayasan Karim Oei,” katanya.

Yang menarik, kata Eddy, Muslim Tionghoa itu sudah menjadi minoritas tapi memeluk agama

mayoritas yang sayangnya merupakan minoritas di kalangannya sendiri. Namun, kondisi itu bisa saja berubah bila sekolah-sekolah negeri terbuka untuk Komunitas Tionghoa.

Selama ini, Eddy memaparkan masyarakat komunitas Tionghoa lebih suka masuk ke sekolah yang didominasi oleh kalangannya sendiri. Disamping itu, faktor pekerja juga bisa membantu membuat warga Tionghia untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Yang diharapkan masyarakat Indonesia terhadap komunitas Tionghoa atau Muslim Tionghoa adalah menampilkan diri mereka apa adanya,” kata Eddy.

Terakhir, Eddy mengatakan apa yang termaktub dalam karya Wubin sudah menggambarkan

bagaimana komunitas Tionghoa berbaur dengan pribumi dan menjadi Muslim. Tahapan berikutnya

bagaimana kehidupam Muslim Tionghoa yang terkekang aturan ketat dan pemisahan di masa lalu

sehingga menghadirkan stereotip negatif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement