Jumat 25 Apr 2014 13:16 WIB

Membaca Lembaran Baru Sudan (1)

Warga Sudan melaksanakan shalat Zhuhur di sebuah masjid tua di Ibu Kota Khartoum.
Foto: AP Photo/Abd Raouf
Warga Sudan melaksanakan shalat Zhuhur di sebuah masjid tua di Ibu Kota Khartoum.

Sudan memasuki fase baru pascadeklarasi kebebasan yang diprakarsai Presiden Sudan Omar El-Basyir, bagaimana kelanjutannya?

Secara georafis, Sudan memiliki posisi strategis. Karena letaknya di bagian Utara Afrika yang termasuk bagian dari wilayah Timur Tengah, maka Sudan menjadi negara anggota Liga Arab dan Uni Afrika.

Yang menjadi ciri khas Sudan adalah aliran sungai Nil yang cabang-cabangya membentang dari selatan ke utara. Secara garis teritorial negara, Sudan berbatasan dengan negara-negara seperti Ethiopia, Eritrea, Mesir, Libya, Chad, Afrika Tengah, dan Sudan Selatan.

Selain itu, Sudan juga memiliki keindahan pantai yang kaya dengan sumber daya alam dan ikannya di Laut Merah. Bisa dikatakan, pantai-pantai ini menjadi outlet bagi sejumlah negara Afrika yang tertutup dan tidak memiliki pelabuhan.

Sudan juga berada di tengah-tengah Lembah Sungai Nil yang memainkan peran vital dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya. Ia juga menjaga dan mempertahankan peninggalan sejarah yang merekam jejak peradaban tertua di kawasan lembah Sungai Nil.

Selain itu, konflik berkepanjangan kian memperburuk sendi-sendi kehidupan dan beragama. Akan tetapi, Sudan tak bisa dikesampingkan begitu saja dari peta dunia Islam.

Pertama, karena Sudan merupakan negara terluas di benua Afrika. Kedua, negara ini memiliki tokoh Muslim kharismatik yang menggagas penerapan syariat Islam di sana; Dr Hassan Turabi.

Sejak merdeka dari Inggris pada 1 Januari 1956, negara besar ini tak pernah lepas dari konflik internal perebutan kekuasaan. Pemerintahan di wilayah seluas 2,5 juta km persegi dengan penduduk 29 juta itu, tak pernah benar-benar stabil.

Perang saudara di Sudan merupakan konflik terpanjang dalam sejarah Afrika. Pada 1972, pernah dicapai kesepakatan damai, namun tak bertahan lama.

Konflik makin membesar antara pemerintah pusat di Sudan Utara yang mayoritas Muslim dengan kelompok-kelompok etnis di selatan yang dimotori Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA).

Sudan Selatan menjadi sebuah negara merdeka pada 9 Juli 2011, setelah referendum yang diselenggarakan pada Januari 2011 menghasilkan sekitar 99% pemilih memilih untuk memisahkan diri dari Sudan.

Walau pecah menjadi dua negara, konflik antara Sudan dan Sudan Selatan tak jua berakhir. Kekerasan bersenjata yang melibatkan dua negara tetangga usai referendum telah menyebabkan ribuan orang mati di tanah perbatasan Darfur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement